Wednesday 3 October 2012

#sikap : Jabatan Batik di Hari Batik Nasional

UNESCO mengakui batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi milik Indonesia tepat tiga tahun lalu, tanggal 2 Oktober 2009. Setelah itu, pemerintah menetapkan tanggal tersebut menjadi Hari Batik Nasional. Sayangnya, tidak semua orang tahu mengenai hal itu.
Pada tahun ini, adalah tahun ketiga kita memperingati Hari Batik Nasional. Sangat miris sebenarnya ketika saya sendiri sebagai mahasiswa yang juga mencintai batik menyikapi batik di tangan kita di Hari Batik Nasional ini.
Batik. Masyarakat kalangan mana yang tak mengenal warisan budaya satu ini. Batik yang dikenakan dahulu dan sekarang amatlah berbeda. Secara umum, dahulu batik adalah sebuah ‘sandang’ yang sangat sakral. Mulai dari cara pemakaian, siapa yang memakai, waktu pemakaian dan sebagainya. Segalanya diatur.
Seperti salah satu motif batik yang sangat saya sukai, yaitu motif parang, yang bentuknya mirip integral. Terutama parang rusak, motif yang hanya dikenakan oleh para bangsawan di beberapa acara kenegaraan dan beberapa upacara adat.
Batik sebelum hari ini adalah sebuah benda dengan harga ‘mahal’. Meski nyaris seluruh kalangan memilikinya, mereka hanya memakainya di acara-acara besar seperti memenuhi undangan di acara pernikahan kerabat, pertemuan dengan RT, rapat RW, dan sebagainya.
Dan batik hari ini adalah batik yang bisa dikenakan di berbagai acara. Sering dari kita kuliah pakai batik, jalan-jalan pakai batik. Bahkan, maba pun dihimbau untuk ber-dresscode batik. Saya ikut senang dengan perkembangan batik yang seperti ini. Batik yang sudah ‘luwes’ dikenakan. Terutama motif parang rusak, yang menurut saya dapat meningkatkan aura pemakainya (terutama lelaki). Siapa saja bisa memakainya, tanpa harus menyandang keturunan darah biru.
Apalagi dengan adanya batik cap. Batik yang teknik pembuatannya sedikit lebih mudah dibanding batik tulis. Ini juga membuat harga batik cap sedikit lebih miring ketimbang batik tulis. Dari segi kualitas mungkin sedikit berbeda, walau dilukis di kain yang sama. Meski menurut saya batik tulis lah yang memiliki nilai lebih karena keorisinilan dan ‘rasa’ yang tak tertandingi, tetap saja itu bukan menjadi masalah yang besar.
Dibalik euforia saya akan kebanggaan kepada batik yang semakin merakyat, saya sedikit menyayangkan kedudukan batik di pasaran saat ini. Ambil saja contohnya batik sembur. Batik yang warnanya warna warni. Entah apa, saya kurang suka dengan batik seperti itu. Coraknya mungkin tidak jauh beda dengan batik pada umumnya. Namun, yang membuat saya sedikit risih adalah warnanya yang warna warni, yang sedikit melenceng dengan batik pada umumnya.
Lantas, batik seperti apa yang ‘batik pada umumnya’? Batik yang motif-motifnya seperti jarik yang biasa dikenakan, yang memiliki estetika batik sesungguhnya. Menurut KBBI, batik sendiri artinya adalah kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu. Memang tidak ada keterangan secara spesifik bagaimana batik itu sendiri dinamakan batik, setidaknya batik sembur tidak semena-mena menamai dirinya dengan kata-kata ‘batik’ didalamnya. Mengingat batik yang diwariskan adalah batik dengan warna dominan coklat, atau tergantung dari daerah asal batik tersebut.
Belum lagi batik yang digabungkan dengan logo tim sepak bola dengan motif yang warna-warnanya sedikit aneh. Yang saya pertanyakan disini adalah, dapat motif dari mana kalau itu batik?
Ada hal lain lagi yang membuat membuat saya semakin miris. Adalah posisi batik saat ini. Yang saya lihat, batik saat ini tak lagi menjadi motif yang sakral. Tak lagi menjadi sebuah ‘sandang’ yang diagungkan. Mungkin karena batik sangat merakyat, atau bahkan terlalu merakyat, maka produsen memilihnya untuk menjadi motif pada produknya.
Contohnya saja, karena keindahannya, batik kini menjadi alas tidur di beberapa hotel yang mengusung tema Indonesia. Di pasar, kebanyakan batik dijadikan motif pada sandal atau sepatu. Di tumah tangga, batik dijadikan sarung bantal sofa atau taplak meja yang nanti sewaktu-waktu bisa kotor. Atau jadi tas, yang jahitannya asal-asalan, sering dipake, akhirnya warnanya pudar dan lusuh. Kalau sudah rusak, dan lusuh, ujung-ujungnya masuk ke pembuangan.
Batik yang dahulu diagung-agungkan, yang memiliki ‘kedudukan’, sekarang menjadi benda pakai yang kedudukannya sangatlah tidak sama. Hal ini sangat disayangkan. Mengingat batik adalah warisan budaya yang sudah diakui oleh UNESCO.
Kebijakan tentang batik dapat dikenakan oleh semua kalangan dan usia bukanlah perkara mudah. Saya ulangi lagi, saya sangat suka melihat batik yang merakyat. Dalam hal ini memiliki pengertian bahwa batik dikenakan sebagai sandang atau pakaian. Bukan sebagai motif pada beberapa benda pakai yang membuat batik kehilangan ‘jabatannya’.
Coba kita tengok warisan budaya lainnya : kain songket, atau kain tenun khas di beberapa daerah, misalnya. Saya memang tidak tahu secara mendetil bagaimana kain tersebut ‘berperan’ ketika dikenakan. Yang saya tahu, selain kain songket harganya sangat mahal dan elegan, mereka biasanya disimpan di lemari, dirawat baik-baik, diperlakukan istimewa, seperti kain batik tulis asli yang harganya selangit.
Mungkin secara teknik, lama pembuatan, dan lain lain kedua kain tersebut berbeda. Namun tetap saja, keduanya adalah warisan budaya Indonesia yang kita harus jaga, tidak perlakukan dengan seenaknya sendiri.
Dipikir-pikir, pemerintah harusnya mengritisi tentang kain yang satu ini. Misalnya, kebijakannya diperketat, motif-motif batik memiliki trade mark-nya, batik hanya boleh dihasilkan di pengrajin batik yang memiliki ‘surat-surat’ dan kewenangan untuk memproduksi batik, dan sebagainya. Redesain batik boleh saja namun harus memenuhi kriteria dan seleksi oleh beberapa orang yang sudah lama bergelut dengan batik.
Dan, apakah kalian tahu batik motif apa yang kalian kenakan hari ini? :)

No comments:

Post a Comment