UNESCO mengakui
batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi milik
Indonesia tepat tiga tahun lalu, tanggal 2 Oktober 2009. Setelah itu,
pemerintah menetapkan tanggal tersebut menjadi Hari Batik Nasional. Sayangnya,
tidak semua orang tahu mengenai hal itu.
Pada tahun
ini, adalah tahun ketiga kita memperingati Hari Batik Nasional. Sangat miris
sebenarnya ketika saya sendiri sebagai mahasiswa yang juga mencintai batik
menyikapi batik di tangan kita di Hari Batik Nasional ini.
Batik.
Masyarakat kalangan mana yang tak mengenal warisan budaya satu ini. Batik yang
dikenakan dahulu dan sekarang amatlah berbeda. Secara umum, dahulu batik adalah
sebuah ‘sandang’ yang sangat sakral. Mulai dari cara pemakaian, siapa yang
memakai, waktu pemakaian dan sebagainya. Segalanya diatur.
Seperti salah
satu motif batik yang sangat saya sukai, yaitu motif parang, yang bentuknya
mirip integral. Terutama parang rusak, motif yang hanya dikenakan oleh para
bangsawan di beberapa acara kenegaraan dan beberapa upacara adat.
Batik sebelum
hari ini adalah sebuah benda dengan harga ‘mahal’. Meski nyaris seluruh
kalangan memilikinya, mereka hanya memakainya di acara-acara besar seperti
memenuhi undangan di acara pernikahan kerabat, pertemuan dengan RT, rapat RW,
dan sebagainya.
Dan batik hari
ini adalah batik yang bisa dikenakan di berbagai acara. Sering dari kita kuliah
pakai batik, jalan-jalan pakai batik. Bahkan, maba pun dihimbau untuk ber-dresscode batik. Saya ikut senang dengan
perkembangan batik yang seperti ini. Batik yang sudah ‘luwes’ dikenakan.
Terutama motif parang rusak, yang menurut saya dapat meningkatkan aura
pemakainya (terutama lelaki). Siapa saja bisa memakainya, tanpa harus
menyandang keturunan darah biru.
Apalagi dengan
adanya batik cap. Batik yang teknik pembuatannya sedikit lebih mudah dibanding
batik tulis. Ini juga membuat harga batik cap sedikit lebih miring ketimbang
batik tulis. Dari segi kualitas mungkin sedikit berbeda, walau dilukis di kain
yang sama. Meski menurut saya batik tulis lah yang memiliki nilai lebih karena
keorisinilan dan ‘rasa’ yang tak tertandingi, tetap saja itu bukan menjadi
masalah yang besar.
Dibalik
euforia saya akan kebanggaan kepada batik yang semakin merakyat, saya sedikit
menyayangkan kedudukan batik di pasaran saat ini. Ambil saja contohnya batik
sembur. Batik yang warnanya warna warni. Entah apa, saya kurang suka dengan
batik seperti itu. Coraknya mungkin tidak jauh beda dengan batik pada umumnya.
Namun, yang membuat saya sedikit risih adalah warnanya yang warna warni, yang
sedikit melenceng dengan batik pada umumnya.
Lantas, batik
seperti apa yang ‘batik pada umumnya’? Batik yang motif-motifnya seperti jarik
yang biasa dikenakan, yang memiliki estetika batik sesungguhnya. Menurut KBBI,
batik sendiri artinya adalah kain bergambar yang pembuatannya secara khusus
dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya
diproses dengan cara tertentu. Memang tidak ada keterangan secara spesifik
bagaimana batik itu sendiri dinamakan batik, setidaknya batik sembur tidak semena-mena
menamai dirinya dengan kata-kata ‘batik’ didalamnya. Mengingat batik yang
diwariskan adalah batik dengan warna dominan coklat, atau tergantung dari
daerah asal batik tersebut.
Belum lagi batik
yang digabungkan dengan logo tim sepak bola dengan motif yang warna-warnanya
sedikit aneh. Yang saya pertanyakan disini adalah, dapat motif dari mana kalau
itu batik?
Ada hal lain
lagi yang membuat membuat saya semakin miris. Adalah posisi batik saat ini.
Yang saya lihat, batik saat ini tak lagi menjadi motif yang sakral. Tak lagi
menjadi sebuah ‘sandang’ yang diagungkan. Mungkin karena batik sangat merakyat,
atau bahkan terlalu merakyat, maka produsen memilihnya untuk menjadi motif pada
produknya.
Contohnya
saja, karena keindahannya, batik kini menjadi alas tidur di beberapa hotel yang
mengusung tema Indonesia. Di pasar, kebanyakan batik dijadikan motif pada
sandal atau sepatu. Di tumah tangga, batik dijadikan sarung bantal sofa atau
taplak meja yang nanti sewaktu-waktu bisa kotor. Atau jadi tas, yang jahitannya
asal-asalan, sering dipake, akhirnya warnanya pudar dan lusuh. Kalau sudah
rusak, dan lusuh, ujung-ujungnya masuk ke pembuangan.
Batik yang
dahulu diagung-agungkan, yang memiliki ‘kedudukan’, sekarang menjadi benda
pakai yang kedudukannya sangatlah tidak sama. Hal ini sangat disayangkan.
Mengingat batik adalah warisan budaya yang sudah diakui oleh UNESCO.
Kebijakan
tentang batik dapat dikenakan oleh semua kalangan dan usia bukanlah perkara mudah.
Saya ulangi lagi, saya sangat suka melihat batik yang merakyat. Dalam hal ini
memiliki pengertian bahwa batik dikenakan sebagai sandang atau pakaian. Bukan
sebagai motif pada beberapa benda pakai yang membuat batik kehilangan
‘jabatannya’.
Coba kita tengok
warisan budaya lainnya : kain songket, atau kain tenun khas di beberapa daerah,
misalnya. Saya memang tidak tahu secara mendetil bagaimana kain tersebut
‘berperan’ ketika dikenakan. Yang saya tahu, selain kain songket harganya
sangat mahal dan elegan, mereka biasanya disimpan di lemari, dirawat baik-baik,
diperlakukan istimewa, seperti kain batik tulis asli yang harganya selangit.
Mungkin secara
teknik, lama pembuatan, dan lain lain kedua kain tersebut berbeda. Namun tetap
saja, keduanya adalah warisan budaya Indonesia yang kita harus jaga, tidak
perlakukan dengan seenaknya sendiri.
Dipikir-pikir,
pemerintah harusnya mengritisi tentang kain yang satu ini. Misalnya,
kebijakannya diperketat, motif-motif batik memiliki trade mark-nya, batik hanya boleh dihasilkan di pengrajin batik
yang memiliki ‘surat-surat’ dan kewenangan untuk memproduksi batik, dan
sebagainya. Redesain batik boleh saja namun harus memenuhi kriteria dan seleksi
oleh beberapa orang yang sudah lama bergelut dengan batik.
Dan, apakah
kalian tahu batik motif apa yang kalian kenakan hari ini? :)
No comments:
Post a Comment