Thursday 24 July 2014

Bukan Resensi : Dilan oleh Pidi Baiq

Postingan ini dipost juga di tumblr saya. Harusnya postingan ini dipost di disini saja karena saya memosting hal-hal yang agak serius. Seperti postingan ini. Tapi saya ingin memostingnya tumblr dan blog. Kau mau berkehendak apa?

image
Image Source : Google
Buku diatas barusan selesai saya baca. Dalam sehari! Belum saya simpan di rak buku selama seminggu setelah membelinya, tiba-tiba saja saya ingin membuka dan membacanya. Padahal saya belum menyelesaikan Larung milik Ayu Utami.

Alasan saya membeli buku ini? Sebetulnya sederhana. Tapi detilnya agak rumit. Begini :

Senin tanggal 14 lalu, saya berputar-putar sebentar di Gramedia Tunjungan Plaza untuk menunggu janjian sama kawan menonton bioskop. Tiba-tiba saja sebuah judul buku menarik perhatian saya. DILAN : Dia adalah Dilanku tahun 1990. Pengarangnya Pidi Baiq.

Saya teriak histeris tapi berbisik seperti menggumam. Seperti menemukan buku yang telah lama dicari. Padahal, saya baru tahu buku itu hari itu juga. Lantas, kenapa saya histeris?

1. 1990. Saya selalu berharap menjadi remaja tahun 90an. Atau setidaknya dapat jodoh yang tumbuh di era 90an (tua ya hehe).
2. Pidi Baiq. Saya bukan fans amatirnya. Apalagi fanatik. Tapi saya ingat postingan tumblrnya yang beberapanya selalu bikin saya heran dengan sudut pikirnya.

Iya itu saja. Lalu saya punya cita-cita untuk memilikinya. Cover, sinopsis, tetek bengek di belakang buku sama sekali bukan pengaruh utama untuk memiliki cita-cita seperti itu. Sederhana ya? Hehe

Tapi sayangnya, saya harus sedikit urung. Klise : uang yang saya bawa nggak cukup.

Hari Rabu, tiba-tiba iseng untuk pergi ke toko buku diskon dekat rumah. Ingin beli Dunia Sophie kalau masih ada. Sekalian ngecek apa ada novel yang saya cita-citakan untuk dimiliki tersebut. Ternyata ada. Tapi sayangnya, saya harus urung lagi. Uangnya nggak cukup.

Hari Jum'atnya, setelah bahagia karena telah menemukan Cutting Mat dan Pen Cutter yang sedang diidam-idamkan selama setengah tahun belakangan dan dapat diskon sepuluh persen (hehe), motor saya belokkan ke toko buku murah yang Rabu kemarin saya kunjungi. Hari itu kebahagiaanku melimpah ruah. Cita-citaku kesampaian!

Hehe.

Baru saja kemarin, sambil menunggu sahur (liburan, saya nokturnal. Kata ibu, saya ini Kalong. Anak Kelelawar), saya buka bungkus Dilan. Dan saya jatuh cinta ketika aku (Milea) bercerita tentang bahasa yang digunakan Dilan : sedikit melayu dan baku. Lalu saya ingat Zetra Kyanofaruq dan Ananda Badudu.

Berlembar-lembar ditelan mata karena diksinya yang ringan, lalu ketiduran di halaman 200. Dan kulahap sisanya ketika beli kebab dan menemani kawanku pergi bimbingan Kerja Praktek.

Ini Teenlit. Tapi pakai setting tahun 1990. Nggak ada mol, handphone, internet, drama yang berlebihan, si cantik nan modis dan si cupu yang ndeso, dan sebagainya a la teenlit-teenlit era sekarang.

Pertemuan mereka sederhana. Plotnya amat klise. Diksinya biasa saja, tidak banyak narasi. Settingnya itu-itu saja. Dramaturginya apalagi. Hehe.

Tapi saya bisa jatuh cinta. Kluget-kluget (gerakan ulat dalam bahasa jawa) sendiri karena melting, tertawa lepas sendiri, dan tersenyum sendiri. Ya Tuhan, saya jatuh cinta sama Dilan! Sampai-sampai saya enggan meminjamkan buku ini kepada siapapun. Agar yang jatuh cinta sama Dilan saya saja.

Pidi Baiq berhasil membuat saya jatuh cinta kepada Dilan karena karakternya yang lugas, sederhana, manis, menyenangkan, spontan, memiliki sudut pandang yang berbeda, dan pasti membuat jatuh cinta gadis remaja, wanita yang ingin menjadi gadis remaja, sampai perempuan yang mengingat dirinya pernah menjadi gadis remaja.

Apalagi ia menyuguhkan set SMA. Masa yang paling didambakan terulang kembali. Dan tiba-tiba saya teringat dengan Ada Apa Dengan Cinta. Dilan adalah Rangga dengan karakter yang bertolak belakang. Namun keduanya dapat membuat perempuan seperti saya kluget-kluget.

Untuk lebih penasaran, bacalah komentar-komentar pembaca yang lain di goodreads. Ini linknya. Tinggal klik kanan - open in new tab. Tak perlu buka google. Komentar-komentarnya juga mewakili saya banget.
Sudah saya bilang, ini bukan resensi. Semoga saja bukan bukan spoiler.

Ratingnya? 4,5 dari 5. Setengahnya karena kejadian-kejadian yamg membuat Milea penasaran dan saya ikut penasaran nggak dijawab di halaman selanjutnya.

Monday 7 July 2014

Surat Cinta untuk Gembeng

Gembeng.

Itu bukan nama aslinya. Nama aslinya adalah NasZz Safita (facebook), @safeetannas atau Annas Safita. Di Tiyang Alit (UKM teater kampusku), masing-masing anggotanya memiliki nama panggung. Dan beberapa diantaranya yang nyaris tidak punya nama asli. Karena kami biasa memanggilnya dengan nama panggung.

Seperti Gembeng ini. Nama aslinya Tata. Karena mengalami proses yang panjang, akhirnya ia diberi nama panggung Gembeng. Dan semua orang memanggilnya begitu.

Gembeng dan Gombel (saya) setelah Dies Natalis Teater Tiyang Alit 18

Saya nggak pernah menyangka bisa kenal dengan dia. Karena sejak pertama kali mengenal parasnya, yang ada di kepala cuma satu : mlete, matanya suka nantang. Lalu tiba-tiba kita ketemu di Tiyang Alit. Ah, ternyata watak aslinya nggak jauh nyeleneh.

Tidak tahu mengapa, beberapa hari belakangan kami didekatkan karena percakapan yang tidak pernah saya temui dengan teman perempuan sepantaran lainnya. Diantara perempuan lain ketika bertemu (mungkin) hanya membicarakan tentang isi hatinya yang kemudian disebut curhat atau beberapa hal-hal yang cewek banget, kami malah jarang melakukan hal itu.

Kami berbicara tentang macam-macam. Tentang teori-teori yang kita buat, tentang perilaku seseorang, tentang alam, semesta, buku, karakter, sudut pandang, logika, filsafat, seni, film, menerka apa yang seharusnya tak boleh kami terka, dan macam-macam.

Ketika sesi curhat berjalan, kami sering memecahnya menjadi logika-logika dari sudut pandang kami, lalu menjadi teori baru yang lain. Jika dengan cara itu tidak terpecahkan, maka kami memilih untuk membahasnya kapan-kapan, atau malah akan kami lupakan.

Selera musik kami beberapanya saling berhimpitan. Adalah Banda Neira dan Adhitia Sofyan. Akustik-akustik menye yang diksinya bisa dibuat bahan untuk berdiskusi.

Dia adalah kawan cakap perempuan yang tak pernah saya temukan sebelumnya. Ini yang membuat saya betah ngobrol berjam-jam dengan dia. Karena kegalauan saya telah berakhir dan terbawa sampai ufuk timur terjauh.

Ah, kami tidak selamanya cocok dan saling menghargai dalam berpandangan. Sering di dalam forum rapat masing-masing dari kami malah merasa saling benar padahal salah satu diantaranya ada yang salah. Dan yang salah sebenarnya sadar kalau ia salah. Tapi tetap tak mau mengalah. Namun setelah forum selesai, kekonyolan tetap terjadi seakan permusuhan tadi tidak ada.

Postingan ini tidak dibuat dengan cuma-cuma. Tidak juga dibuat karena mengharap imbalan yang serupa. Atau apa.

Gembeng baru saja berulang tahun seminggu yang lalu. 30 Juni. Saya ingat karena pernah membaca KTPnya. Bukan karena notifikasi Facebook. Dan sampai sekarang saya belum mengucapkan doa-doa yang biasa diucapkan kepada orang yang berulang tahun. Karena saya mempunyai kebiasaan buruk : ingat dan sadar hari ulang tahun seorang kawan, namun lupa mengucapkan.

Tidak ada penyelamatan. Tidak ada perayaan. Tidak ada kejutan.
Hanya ada doa : Semoga tahun depan bisa memperpanjang KTP. Dan begitu seterusnya setiap lima tauhn sekali.
Aamiin.

Amini aja. Kayak gak pernah ngamani doa temen biar nggak jomblo aja. Hehe.

Sunday 6 July 2014

Keinginan yang Lain

Kalau boleh flashback, tahun 2013 kemarin saya dipertemukan dengan banyak orang-orang baru yang benar-benar heterogen. Ceritanya panjang. Mulai dari diberi kesempatan untuk mengikuti workshop Klasik Muda, sampai menjadi bagian dari Surabaya Youth Carnival 2013 sebagai Human Resource.

Dari orang-orang yang saya temui, banyak diantaranya memiliki ketertarikan yang sama : membawa sebuah perubahan kecil untuk Indonesia. Mulai dari volunteerfounder, co founder, yang mengikuti banyak summit, sampai orang yang sering berada di balik mereka semua. Dan alhamdulillah, saya mendapat banyak energi positif dari mereka semua.

Komunitasnya juga tidak kalah. Mulai dari yang bergerak di bidang sosial atau pendidikan, atau di bidang interest. Ada Kelas Inspirasi, Indonesian Youth Motion, Lendabook, GMSI, SCC, dan masih banyak lagi.

Saya mendukung gerakan mereka. Namun, dari keikutsertaan saya terhadap kegiatan mereka, bisa menerangkan kalau saya ini biasa saja terhadap mereka. Saya nyaris tidak pernah ikut serta dalam beberapa program yang mereka jalankan. Bukan tidak tertarik. Namun ada bidang lain yang membuat saya lebih tertarik : seni.

Ada seni memang dalam beberapa program mereka. Namun hanya sebagai pendukung atau penyokong saja. Tidak sebagai pergerakan utama. Saya bisa saja menjadi bagiannya ketika program itu dilaksanakan. Namun tetap saja : "Bukan karena tidak tertarik, melainkan ada bidang lain yang membuat saya lebih tertarik : jika pergerakan utama komunitas tersebut bergerak dalam bidang seni".

Saya suka seni. Sebagai penikmat, tentunya. Juga sebagai orang yang mempelajarinya. Saya suka dengan kesenian tradisional yang beragam di Indonesia. Juga kesenian yang sedang berkembang. Mulai dari ludruk, tari tradisional, ketoprak, wayang, wayang orang, tari kontemporer, lukis, fotografi, musik, sampai teater.

Untuk menikmati dan mempelajari, kecenderungan saya memilih kepada seni pertunjukan seperti tari dan teater. Sedang seni visual seperti lukis, fotografi, musik dan lainnya, saya memilih untuk menikmatinya saja sambil menjadi pengamat amatir. Hehe.

Karena kebanyakan mengamati seni pertunjukan, sering keluar gerakan-gerakan spontan dari tubuh saya. Seperti lambaian gemulai tangan pada tari jawa atau bali, gerakan-gerakan kepala, mendhak, beberapa gerakan pada wayang orang, sampai menirukan beberapa bahasa tubuh yang diciptakan oleh penyaji dalam sebuah seni pertunjukan.

Beberapa kawan saya juga pernah bertanya apakah saya pernah menempuh pendidikan non-formal dalam bidang menari. Tidak. Malah, saya orang yang tidak aktif dalam ekskul sekolah dalam bidang tari. Namun dulu ibu saya seorang penari. Ini bukan bakat yang diturunkan. Melainkan akibat dari saya menjadi pengamat amatir sebuah pertunjukan.

Kadang-kadang, saya memiliki keinginan untuk mempelajari seni tersebut. Bukan dari jalur formal, tentunya. Karena saya ingin mempelajarinya sebagai sarana untuk menghibur diri atau memperkaya ilmu untuk mengolah tubuh. Tapi jika formal adalah jalur yang juga mampu saya tempuh, kenapa tidak?

Saya yakin, orang tua saya tidak akan melarang selama saya tidak melupakan apa saja kewajiban saya sebagai anak, mahasiswa dan perempuan. Tapi, cita-cita dan keinginan tersebut selalu terkendala satu masalah klise : uang.

Baiklah, barangkali saya bisa mengajukan beasiswa atau menabung mulai sekarang. Jika menggunakan beasiswa, saya bahkan tidak memiliki sejarah atau prestasi sama sekali. Tapi jika menabung, waktu yang dikumpulkan tidaklah sebentar.

Atau semesta memilih cara lain? Misalnya, salah seorang teman menawarkan untuk mempelajarinya di sebuah sanggar yang baru saja ia dirikan. Ia hanya butuh massa untuk ia ajar.

Jika saya diperbolehkan bermimpi tentang hal ini, saya ingin diberi kesempatan untuk mempelajarinya (atau mengenalnya) sampai Eropa. Dimana kesenian-kesenian seperti teater, tari kontemporer dan sebagainya lahir. Saya ingin membandingkan dua tari tradisional dari Negara Indonesia dan Benua Eropa.

Lalu umurmu bagaimana? Umur hanyalah sebuah angka. Untuk menipunya, saya sudah mempelajarinya di jurusan Matematika. Hehe, abaikan.

Semoga keinginan ini terpelihara sampai selesainya pelaksanaan.
Semoga semesta mengamini dan mendukung.
Semoga Tuhan mengiyakan.

Aamiin..

Friday 4 July 2014

Penyebab Hari Ini

Kita tidak pernah memilih : peristiwa mana yang harus kita ingat secara cermat, kesalahan-kesalahan yang harusnya jadi pelajaran, orang-orang yang akan sering kita temui, atau apa saja yang semesta inginkan terjadi kepada kita secara tidak sadar.

Tuhan itu satu. Maka kita ini banyak macamnya. Meski tidak mirip secara mutlak, setidaknya, tak hanya aku saja atau kalian saja yang memiliki masa lalu yang sama. Misalnya : menjadi korban bully.

Tuhan menciptakan makhluknya dengan berbagai pola yang sama, dan diletakkan pada pribadi-pribadi yang berbeda secara acak. Ini sebabnya kita akan bertemu dengan berbagai orang yang heterogen, namun beberapa diantaranya memiliki beberapa kesamaan. Entah dua diantaranya, tiga, atau bahkan semuanya.

Bermain dengan karakter adalah suatu hal yang menarik bagi saya. Dalam menulis, saya suka membuat satu karakter baru yang kuat. Dalam berteater, saya suka membedah karakter tokoh-tokoh yang ada dalam naskah. Ini menyebabkan saya suka bertemu dengan orang-orang yang heterogen. Entah hanya untuk observasi, atau hanya berkenalan saja. Yang nantinya akan menjadi bahan karakter baru dalam cerita-cerita saya.

Berkenalan dengan satu karakter itu tidak mudah. Amat tidak mudah.

Misalnya, ketika kita bertemu dengan orang yang selalu melipat tangannya di depan dada tersenyum sekenanya dan obrolan yang pedas ketika ia berkenalan dengan orang yang baru. Kita boleh berpikir macam-macam tentang dia. Negatif atau positif. Tapi dari situ membuat saya bertanya : apa sebab yang membuatnya bersikat seperti itu?

Dalam naskah teater justru lebih mudah. Dicari saja dialog atau bahasa tubuh lainnya yang diberikan oleh penulis dalam naskahnya. Tapi dalam realitas?

Saya yakin, masing-masing dari kita pasti pernah bertemu dengan manusia lainnya dengan karakter yang tidak biasa. Hadapilah, tak perlu mencela, tak perlu dibuat bahan tertawaan dibelakangnya. Dia lebih berani menjadi dirinya sendiri dengan masa lalu yang barangkali kita tak bisa hadapi. Atau malah, masa lalumu akan terkesan biasa saja di matanya.

Karena saya pernah mengalaminya. Saya tahu bagaimana rasanya. Lalu saya pernah mengalami krisis karakter. Untungnya, saya tidak bisa menjadi orang yang bukan saya. Ini membuat saya paham kalau  sifat seseorang atau sikap yang ia lakukan hari ini adalah akibat dari kejadian-kejadian yang menimpanya secara berkala di masa lalu, dan apa saja yang kita terima secara tidak sadar pada hari ini secara terus-menerus akan menjadi sebab bagaimana sikap dan sifat kita nantinya.

Kita tidak pernah memilih : peristiwa mana yang harus kita ingat secara cermat, kesalahan-kesalahan yang harusnya jadi pelajaran, orang-orang yang akan sering kita temui, atau apa saja yang semesta inginkan terjadi kepada kita secara tidak sadar.


Karena Tuhan memiliki pola-Nya.