Wednesday 18 December 2013

Kopi Pagi Ini : Kopi Jantan no 2.

Dari kemarin menginginkan untuk mencium aroma kopi di pagi hari. Hari ini baru kesampaian. Di tengah-tengah mengentri data untuk rapor online milik Ibu (dan teman-temannya). Bisa dibilang ini sarapan yang terlalu dini.

Kopi buatanku cuma aku yang suka. Kenapa? Karena aku membuatnya dengan takaran tidak wajar. 2 sendok muntup kopi, 1 sendok gula, dan diseduh pakai air yang mendidih. Harus mendidih. Untuk menakar kopi, aku memakai sendok makan. Muntup maksudnya takarannya menjulang. Untuk gulanya, aku biasa pakai sendok bebek. Ditakar rata. Terbayang tidak pahit dan kentalnya?

Kata kawanku, aku tidak membuat kopi. Melainkan 'lethek' yang diseduh dengan air panas. Lethek adalah ampas kopi yang pahit sekali, yang biasanya dibuang. Katanya pahit sekali. Tapi di lidahku kopi buatanku enak-enak saja. Atau karena aku yang buat ya?

Usut punya usut, ternyata untuk meminum kopi buatanku harus dengan keadaan mulut bersih. Maksudnya, mulut tidak sehabis makan atau minum dengan rasa-rasa enak. Untuk membersihkannya, cukup meminum satu-dua teguk air putih. Karena ternyata, secara tidak sadar, aku selalu minum air putih sebelum meminum kopi buatanku.

Pernah suatu ketika aku mencoba untuk minum kopi buatanku setelah mulut ini mengunyah macam-macam. Rasanya? Hoeeeekkkk pahit!!! Aku juga pernah menyarankan kawanku untuk meminum air putih dahulu sebelum meminum kopi buatanku. Reaksinya setelah menuruti saranku dan meminum kopi buatanku? Sama saja ketika meminum kopi buatan lainnya. Kutanya apakah pahit, jawabannya biasa saja.

Aku menyimpulkan sendiri caraku membuat kopi : 

"Karena hidup ini terlalu manis, maka kubuat saja kopi yang (menurut mereka) pahit."
Hehe

Tuesday 17 December 2013

JENDELA.

Adalah tempat lain dimana aku suka meletakkan rindu. Di tepiannya, duduk termangu bercakap dengan langit menyampaikan pesan kepada seseorang lewat pejaman mata.

Sunday 15 December 2013

Percakapan yang Seharusnya Tidak Ada.

“Aku ki ojo dideni terus to”, ujarku kepada tokoh-tokoh fiksiku yang belum tuntas kubuat.

“Lalu minta apa?” ujar Reo, masih dengan caranya mengedikkan kepala. Tubuhnya yang masih saja kurus dibalut dengan kaos oblong dan jaket marun kesukaannya. Tas ransel merah bututnya masih selalu setia dibawanya kemana-mana. Kedua tangannya masuk ke kantong celana cargonya.

Elfania, masih dengan rambut pendek sebahunya masih memeluk ensiklopedi Codex Seraphinianus - Luigi Serafini (yang katanya didapat) dari neneknya, dan mahkota bunga yang selalu berganti setiap harinya, tersenyum. Sungguh manis. “Rah tidak boleh bersedih, ya. Rah mau apa?”
“Mau ke tempat kalian. Cakap dengan kalian. Saling peluk.. Apalagi dengan kau, Elfa.”

Elfa melonjak. Tas besar yang menenggelamkan tubuh mungilnya membuatnya harus mencari keseimbangan setelah lonjakan emosi gembiranya tergambar. Arden, yang (selalu) berdiri di samping Elfa, tersenyum dengan kedua tangannya yang ia lipat di depan dadanya nampak begitu mengamati Elfa dan bersiaga kalau Elfa hendak menghilang.

“Kapan kau pulang kemari? Memeluk rumah. Bali ya? Atau malah kau ingin kesana hendak ingkar, memenuhi janji kepada...” Kalimat Galang begitu menggantung. Senyumnya tertahan, membuat kerutan di dekat ujung matanya terlihat. Aku betulan mengerti maksudnya. Ejekannya masih selalu seperti malam-malam sebelumnya.

Elfa mendekatiku dengan langkahnya yang sangat girang. Memeluk pundakku. Ah, ternyata tingginya tak jauh beda dengan tubuhku. Namun mengapa tubuhnya terlihat mungil dan begitu ringan ya? “Jangan hiraukan dia, Rah. Dia suka jahat dengan kau, kan? Hihi”

Menuruti kalimat Elfa, aku melemparkan pandangan ke ruang lain. Kudapati satu sosok lain. Tubuhnya nyaris sama dengan Reo, Arden, dan Galang. Nyaris. Hanya berbeda pada potongan rambutnya yang sedikit lebih rapi. Mungkin sebulan sampai dua bulan lagi rambutnya akan menyerupai 3 tokohku yang lainnya, sampai-sampai aku tidak bisa membedakan keempat tokohku ini. Namanya Langit.

Tunggu. Aku kembali mengedarkan pandangan. Reo, Arden, Galang, Langit, dan beberapa tokoh utama lelaki lainnya begitu terlihat sama. Ah, mereka ternyata sama.

Kedua tangan mereka masuk ke saku celana mereka masing-masing. Rambutnya menjuntai menutupi setengah telinga dan tungkaknya terlihat sengaja mereka acak-acak. Badannya kurus kering, bahunya bidang, kulit sawo matang, dengan tinggi 170an. Garis rahangnya kuat. Pelipisnya menonjol, memayungi matanya yang teduh. Sesekali alisnya diangkat sebelah ketika senyum mengejeknya ditampilkan.

Apa kukata. Mana mungkin mereka tak ada jelmaan nyatanya.