Wednesday 28 September 2011

Satu-Dua-34

Nggak tau kenapa, dari tadi pagi, pas ngelihat angka 34, aku langsung tersenyum, mengingat yang ada di dalamnya, yang menjadi penggalan jiwa. Sama semua keping-keping penyusunnya. Entah itu salah satu, entah itu semuanya.
Dan semenjak tadi pagi, sering banget ketemu angka 34. Nggak tau pikiranku yang lagi sedang fokus banget ke 34, atau ada bisikan yang hebat di pikiranku untuk mikirin 34, atau malah semuanya menyuarakan 34, memberontak kepada mataku untuk meminta perhatian. Intinya sih sama aja. 34 sering muncul di depan mata.
Argh, angka ini emang bener2 nggak bisa dilupakan. Penggalan memorinya, kepingan jiwa yang tertinggal karena sudah dibawa 34. Oh ya, penggalan jiwa itu seperti ‘soulmate’ kali ya. Ehm, bisa diartikan ‘horcrux’-nya kita. Kalo salah satu penggalan jiwa hilang/musnah, kita mungkin bisa langsung kehilangan kekuatan kayak Voldemort.
Eh, 34 tidak membawa penggalan jiwaku. Iya, 34 itu merupakan penggalan jiwaku. Sekaligus patahan memori yang terlalu berharga. Terlalu mahal. Uang berapapun tak bisa membelinya. Jadi ngerasa kaya deh karena 34.
34. 34. 34. Dimanapun 34 berada, bagaimanapun cara 34 mengambil ‘mimpi’nya, aku akan maklum kalau 34 sedikit lupa dengan ‘Jun’ dan nama-nama lain. Tapi, ada sebuah keyakinan dalam hatiku, kalau patahan memori itu tidak akan hilang.
34, izinkan aku semakin merindu.

Your Jun.
Surabaya, 28 September 2011. 10:23 pm
Preketek tetettoet duntek-duntek teot teblung

Friday 16 September 2011

Thursday 8 September 2011

Satu Menit dan Sekarang

Baru saja semenit yang lalu ia berbicara bagaimana dunia nanti ada di genggaman tangannya. Lima puluh detik yang lalu ia menghela napasnya, kemudian meringis. Empat puluh detik yang lalu ia menyambar minumanku yang belum aku sentuh sama sekali dan dihabiskan tak tersisa. Tiga puluh detik yang lalu ia menumbukkan pandangannya kepada mataku, dan aku menemukan rona pipinya yang kian memancar. Dua puluh detik yang lalu ia meletekkan kepalanya di pundakku perlahan. Sepuluh detik yang lalu aku baru berbicara, dan aku dihampiri oleh hembusan napasnya yang terdengar di ujung telingaku.

Aku tersenyum kecil. Sekarang aku menikmati bagaimana tak hanya kepalanya yang bersandar di pundakku. Aku tahu sebagian tubuhnya itu hanya sebuah perwakilan dari semuanya. Sekarang aku melihat wajahnya yang diam, menyembunyikan kata-kata yang tak terhingga. Sekarang aku merasakan bagaimana tidak hanya napasnya saja yang menyelingi sela-sela udara yang aku hirup, tetapi juga segala sesuatu tentangnya. Sekarang aku tahu melewati umpatan-umpatan kecil di pesan yang ia kirimkan, ia tidak pernah meninggalkanku tentang apapun yang menyerbunya.

Sekarang.. atau entah sampai kapan nanti aku mencintainya. Tidak dengan waktu. Tidak dengan kata-kata. Tidak dengan tawa. Tidak dengan segalanya. Dengan apa? Entahlah, aku juga tak tahu. Cukup merasakannya berada disini, dan ia mengetahui aku ada, rasa itu tetap sama. Dan aku tahu, ia selalu begitu.

--

Rahmadana Junita
Surabaya, 8 September 2011

Monday 5 September 2011

Ikan.

Saya ini ikan. Kalo ibarat ikan, saya milih jadi ikan paus atau lumba-lumba. Mamalia air lainnya.
Hidup mereka di air, tapi napas mereka tidak di air.
Hidup dan tubuh saya di Surabaya, tapi napas saya tidak berada disini.
Di tempat orang.