Friday 22 August 2014

Resensi Bekisar Merah (dan Belantik) Karya Ahmad Tohari







Judul : Bekisar Merah
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013
Cetakan : Cetakan Kedua, Maret 2013 (Cover Baru)
Jumlah Halaman : 360 Halaman

SINOPSIS

Bekisar adalah unggas elok hasil kawin silang antara ayam hutan dan ayam biasa yang sering menjadi hiasan rumah orang-orang kaya. Dan, adalah Lasi, anak desa berayah bekas serdadu Jepang yang memiliki kecantikan khas---kulit putih, mata eksotis---membawa dirinya menjadi bekisar di kehidupan megah seorang lelaki kaya di Jakarta, melalui bisnis berahi kalangan atas yang tak disadarinya.

Lasi mencoba menikmati kemewahan itu, dan rela membayarnya dengan kesetiaan penuh pada Pak Han, suami tua yang sudah lemah. Namun Lasi gagap ketika nilai perkawinannya dengan Pak Han hanya sebuah keisengan, main-main.

Hanya main-main, longgar, dan bagi Lasi sangat ganjil. karena tanpa persetujuannya, Pak Han menceraikannya dan menyerahkannya kepada Bambung, seorang belantik kekuasaan di negeri ini yang memang sudah menyukai Lasi sejak pertama melihat wanita itu bersama Handarbeni. Lasi kembali hidup di tengah kemewahan yang datang serbamudah, namun sama sekali tak dipahaminya. Apalagi kemudian ia terseret kehidupan sang belantik kekuasaan dalam berurusan dengan penguasa-penguasa negeri.

Di tengah kebingungannuya itulah Lasi bertemu dengan cinta lamanya di desa, Kanjat, yang kini sudah berprofesi dosen. Merea kabur bersama, bahkan Lasi lalu menikah siri dengannya. Nmaun kaki-tangan Bambung berhasil menemukan mereka dan menyeret Lasi kembali ke Jakarta,. Berhasilah Kanjat membela cintanya, dan kembali merebut Lasi yang sedang mengandung buah kasih mereka?

**

Sebelum saya membaca Bekisar Merah, saya telah membaca e-Book dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak. Meski hanya sampai 3 halaman saja, setidaknya saya sudah berkenalan dengan gaya bahasa Ahmad Tohari yang ringan, lugas, dan sederhana.

Buku ini diawali dengan segala detil suasana desa Karangsoga ketika hujan sedang turun. Cara penulis membawa suasana tersebut dengan cara menceritakan satu detil kejadian kecil dalam suasana tersebut, lalu loncat ke deskripsi suasana kecil yang lainnya, hingga akhirnya meruncing tentang salah satu tokoh yang bernama Darsa sebagai penyadap nira.

Cerita begitu mengalir dengan deskripsi dan narasi yang begitu detil namun sederhana. Apalagi penulis selalu menceritakan keadaan desa Karangsoga secara terperinci dan detil. Membuat saya, atau bahkan perantau yang penat dengan kesibukan kota ingin segera kembali ke desa untuk sekadar pulang, berlibur, atau menikmati suasana dan udara yang tak dapat mereka beli di kota. Saya rindu Trenggalek.

Karena ketika menulis saya selalu mengedepankan deskripsi dan narasi, maka tulisan Ahmad Tohari patut diacungi jempol dan dapat dijadikan contoh dalam membuat deskripsi dan narasi yang detil, ringan, dan mampu membawa imajinasi pembaca.

Banyak nilai tambah yang terkandung dalam buku ini. Nasihat-nasihat jawa, tembang-tembang jawa buatan Eyang Mus, quote yang menggunakan bahasa jawa lalu diartikan ke bahasa Indonesia, kritikan kepada mahasiswa, pandangan penulis terhadap kejadian yang terjadi di permukaan masyarakat yang diolah dalam bentuk percakapan atau narasi, dan sebagainya.

Saya sendiri membaca kurang lebih empat poin yang saya tulis berdasarkan pendangan saya dari buku ini.
  1. Lasi adalah perempuan berdarah setengah Jepang. Di desa tempat ia lahir, tumbuh, besar, dan menikah, Karangsoga, keberadaannya kerap menjadi olok-olok bagi kawannya ketika kecil karena memiliki ciri khas tubuh yang berbeda dengan lainnya: kulitnya yang putih bersih dan matanya yang khas. Setelah ia dewasa, ia pun menjadi bulan-bulanan warga desa Karangsoga, seperti karena tak kunjung menikah, setelah menikah tak kunjung punya anak, sampai dihianati suaminya. Namun, ketika kakinya menginjak kota Jakarta, ia seperti barang berharga yang diagung-agungkan oleh beberapa pihak sehingga karena kenaifannya, ia menjadi objek bisnis berahi kalangan elite.
  2. Dikutip dari percakapan Kanjat dan dosen pembimbing skripsinya, Doktor Jirem : “Keterpihakanmu terhadap masyarakat penyadap, saya kira, merupakan manifestasi perasaan utang budi dan terima kasihmu kepada mereka yang telag sekian lama memberikan subsidi kepadamu. Ini bukan sebuah dosa ilmiah. Jat, kamu tahu, sudah terlalu banyak kaum sarjana seperti kita yang telah kehilangan rasa terima kasih kepada “ibu” yang membesarkan kita. Mungkin karena, ya itu, mereka seperti kamu, takut dibilang sok moralis. Mereka lebih suka memilih hanyut dalam arus kecenderungan pragmatis. Agakanya mereka lupa bahwa dari segi-segi tertentu pragmatisme menjadi benar-benar amoral. Jadi mereka jadi amoral karena takut dibilang moralis.
    Maka banyak sarjana seperti kita lupa, atau pura-pura lupa bahwa misalnya, guru yang mendidik mereka dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi digaji oleh masyarakat; bahwa sarana pendidikan yang mereka pakai dari gedung sekolah sampai laboratorium juga dibiayai dengan pajak orang banyak. Mereka lupakan ini semua sehingga status yang mereka peroleh dari sesarjanaan mereka hampir tak punya fungsi sosial. Mereka sekana merasa bahwa status kesarjanaan yang mereka peroleh semata-mata merupakan prestasi pribadi karenanya hanya punya fungsi individual.

    Jat, dengan demikian amat banyak sarjana seperti kita yang kehilangan keanggunan di mata masyarakat yang telah membesarkan kita. Mereka tak bisa berterima kasih dan membalas budi. Maka jangan heran bila masyarakat telah kehilangan banyak kepercayaan dan harapan atas diri orang-orang seperti kita.”

    Sebagai mahasiswa, membaca kalimat-kalimat Doktor Jirem seperti ditampar oleh dosen yang menjadi panutan dan saya hormati. Sakit, mengena, dan membuat saya sadar kalau saya mahasiswa yang belum melakukan apa-apa untuk Indonesia.
  3. Berkaitan dengan poin sebelumnya. Pak Tir barangkali ia adalah sebagai wakil atau simbol dari masyarakat pada umumnya. Menyekolahkan anaknya, Kanjat, sampai ke perguruan tinggi dan tidak tahu apa itu makna dari Tri Dharma Perguruan Tinggi (TDPT), berpikiran bahwa sarjana yang telah lulus ‘harusnya’ bekerja, berlomba-lomba menjadi Pegawai Negeri, bergaji banyak, lalu makmur. Pak Tir sendiri tidak tahu jika ada yang harusnya ‘dikembalikan’ kepada rakyat.
  4. Allah SWT menghadiahkan satu bulan istimewa dalam satu tahun yang mana lebih istimewa dari seribu bulan: Bulan Ramadhan. Dalam kesusahan hidup masyarakat Karangsoga, mereka lantas amat bersyukur atas datangnya bulan yang penuh berkah tersebut. Dimana ketika kebutuhan gula naik, sehingga penyadap nira di Karangsoga mendapatkan nilai jual lebih besar dan mahal dari gula yang dibuatnya. Fakta ini menyebabkan kehidupan di Karangsoga makmur dalam kurun waktu satu bulan. Dalam hal ini penulis mampu menceritakan suka cita yang meruah yang saya sendiri dapat merasakan kegembiraannya. Apalagi ditambah tembang milik Eyang Mus:

Dina Bakda uwis leren nggone pasa
Padha ariaya seneng-seneng ati rag
Nyandhang anyar sarta ngepung sega punar
Bingar-bingar mangan enak nganti meklar
Di hari Lebaran sudah kita purnakan puasa
Kita berhari raya , bersenang jiwa dan raga
Berbusana baru, menyantap nasi pulen
Riang gembira santap enak hingga perut
Kenyang benar
Sebetulnya ada banyak poin yang menarik untuk dibahas. Tapi hanya empat poin di atas yang membuat saya berhenti membaca, berpikir, dan bernapas dalam karena ikut memikirkan dan merasakan apa yang dituliskan penulis.

Sebagai orang jawa, penulis sering memasukkan kalimat-kalimat dan frasa-frasa yang berbahasa jawa, seperti yang saya jelaskan di atas. Meski diberi keterangan berupa bahasa Indonesia, tetap saja bagi saya yang notabene juga berdararah Jawa, pembawaan bahasanya akan terasa berbeda. Ini menjadi nilai tambah yang juga sekaligus menjadi nilai kurang untuk mereka yang tidak mengerti bahasa jawa ketika keterangan bahasa indonesianya tidak dimunculkan.

Dari segi penokohan, penulis cukup mampu menyajikan karakter yang kuat. Meski digambarkan seperti Lasi yang begitu polos dan Kanjat yang sepertinya pasrah terhadap apa yang diterima Lasi, menurut saya hal tersebut adalah cara penulis bagaimana menguatkan karakter-karakter yang dibuatnya. Apalagi keberadaan Eyang Mus yang menurut saya beliau adalah karakter yang memiliki jiwa tersendiri yang sengaja dimunculkan penulis dalam buku ini.

Setiap buku selalu memiliki nilai kurang karena ditulis oleh manusia. Seperti buku ini. Yang pertama, terjadi kontras ketika penulis menceritakan tentang kota Jakarta. Tak sebegitu terperinci seperti mendeskripsikan desa Karangsoga. Membuat saya bertanya apakah hal ini berkaitan dengan unsur ekstrinsik penulis? Yang mana menurut biografi singkat yang saya baca dari internet, penulis tidak betah tinggal di kota besar dan sampai hari ini tetap bertahan untuk tinggal di tempat kelahirannya, Banyumas.

Yang kedua adalah plot, terutama dalam pembangunan konflik. Meski memiliki plot yang mengalir dan halus, pembangunan beberapa konflik di akhir cerita terasa kurang. Seperti ketika Lasi mengetahui kalau pernikahannya hanyalah main-main. Hal tersebut diceritakan hanya satu sampau dua halaman. Justru pada konflik pertama pada awal cerita, ketika Lasi dihianati suaminya, pembangunan konflik sangat halus dan konflik yang terjadi begitu terasa, dan memiliki antiklimaks yang pelan dan mengalir.

Yang ketiga dan terakhir adalah kesan tergesa dalam akhir cerita. Temponya berbeda dengan awal cerita yang begitu lamban dan mengalir. Konflik terakhir yang dibangun hanya dibawakan sebanyak tiga sampai empat halaman kemudian diselesaikan dengan menggunakan sebelas sampai lima belas halaman. Barangkali karena penyelesaian terjadi di kota Jakarta, dan berkaitan dengan kekurangan yang saya bahas di atas.


Saya rasa itu saja. Kekurangan yang ada rasanya akan tertutupi oleh nilai tambah yang menawarkan banyak hal yang barangkali jarang dimiliki oleh buku lain. 4,3 dari 5 saya rasa cukup.

Nah, saat ini saya sedang memulai membaca Ronggeng Dukuh Paruk. Ah, kalau saya adalah mahasiswa sastra, sepertinya hubungan unsur ekstrinsik Ahmad Tohari terhadap karya-karyanya menarik untuk dijadikan topik penelitian skripsi. Kalau saja.

Wednesday 13 August 2014

Merantau dan Kepulangan

Oh Ibu, tenang sudah lekas seka air matamu
Sembabmu malu dilihat tetangga

Oh Ayah, mengertilah rindu ini tak terbelenggu
Laraku setiap teringat peluknya


Berkali-kali saya mendengar lagu ini dan baru kemarin sore sebelum berangkat ke kampus mengerti apa maksudnya: percakapan bapak dan ibu ketika anaknya sedang dalam perantauan. Setibanya di kampus, kawan saya bertanya, “Kuliah di Matematika pengabdian kepada masyarakatnya apa saja?” Jujur saya tidak mengerti. Percakapan kami sebelumnya memang mengarah kepada hal tersebut. Adalah tentang KKN yang memiliki hubungan dengan pengabdian kepada masyarakat yang sayangnya tidak diadakan di ITS.

Malamnya, ketika saya membaca buku Bekisar Merah oleh Ahmad Tohari di kamar, saya telah sampai ketika Kanjat mengalami dilema untuk penulisan skripsinya. Isi skripsinya tentang kenyataan-kenyataan tentang penyadap nira di desa Karangsoga, tempatnya dibesarkan. Lantas ia sempat ragu jika penulisan skripsinya menonjolkan keterpihakannya terhadap kehidupan masyarakat di kampungnya. Sayangnya, keterpihakannya tersebut didukung oleh dosen pembimbingnya.

“Jat, kamu tahu, sudah terlalu banyak kaum sarjana seperti kita telah kehilangan rasa terima kasih kepada ‘ibu’ yang membesarkan kita. Mungkin karena, ya itu, mereka seperti kamu, takut dibilang sok moralis. Mereka lebih suka memilih hanyut dalam arus kecenderungan pragmatis. Agaknya mereka lupa bahwa dari segi-segi tertentu pramagtisme menjadi benar-benar amoral. Jadi mereka jadi amoral karena takut dibilang moralis.” Doktor Jirem, Dosen pembimbing skripsi Kanjat, Bekisar Merah oleh Ahmad Tohari hal. 92 cetakan baru.

Percakapan dengan dosen pembimbingnya mengarah kepada pemikirannya tentang biaya pendidikannya yang diambil dari keuntungan yang tidak wajar dari penjualan gula nira yang dijual kepada ayahnya. Dan sekaligus menampar saya sebagai mahasiswi yang sorenya diberi pertanyaan tentang pengabdian kepada masyarakat. Di tengah dilemanya tersebut, Kanjat memutuskan untuk pulang tanpa mengerti apa keperluannya untuk pulang.

Saya menatap langit-langit kamar sebentar memikirkan sesuatu. Kemudian meneruskan membaca.
Beberapa jam yang lalu saya membaca tumblr Banda Neira tentang lagu Di Beranda. Tentang bagaimana proses penemuan lagu tersebut. Dan baru saja saya melihat rak sepatu. Hanya sepatu merah saya yang tersisa. Biasanya ada lima pasang sepatu memenuhi baris pertama. Jika saya pergi, baris pertama tersebut kosong. Barangkali itu yang dirasakan nenek ketika bapak dan ibu pergi bekerja, kedua adik berangkat sekolah dan aku kuliah : kosong.

Tidak sampai 24 jam, saya dihadapkan suatu hal yang berkaitan : merantau dan kepulangan.
Sejak lama saya tertarik dengan pembahasan seperti ini. 21 tahun besar di Surabaya dan hanya pergi ke luar kota tidak sampai sebulan membuat saya kadang berpikir untuk merantau saja selepas kuliah nanti. Alasannya : bosan di Surabaya, ingin merantau, ingin merasakan jauh dari orang tua, ingin merasakan kepulangan karena rindu, ingin merasakan mengumpat rindu, dan semacamnya.

Saya salah satu orang yang sangat mengagumi perantau. Jauh dari orang tua, mengatur keuangan sendiri, mengalami rindu kepada orang tuanya, mengalami interaksi bersama orang tua di telepon, dan semacamnya yang tidak bisa dirasakan saya dan teman-teman yang tidak merantau.

Beberapa dari mereka memiliki kebiasaan yang unik tentang kepulangan. Ada yang tidak bisa pulang karena tidak pernah sempat, ada yang ingin pulang namun terkendala biaya, ada yang selalu memiliki kesempatan pulang, sampai ada yang tidak ingin pulang karena ia menyepelekan perkara pulang. Ada.

Saya amat suka perjalanan ke luar kota bersama teman-teman. Perjalanan tersebut bagi saya adalah miniatur kecil bagaimana merantau nanti. Alhamdulillah, ibu dan bapak tidak pernah membatasi anaknya untuk pergi asalkan kami terbuka mengenai mengendarai apa, dengan siapa, hendak kemana, sampai berapa hari, dan semacamnya.

Dalam perjalanan tersebut, kadang ibu atau bapak sms makan apa, tidur dimana, lagi ngapain, lagi dimana, uangnya cukup atau tidak, dan semacamnya. Tak sedikit dari sms tersebut saya acuhkan. Ini membuat saya tidak rindu rumah. Namun jika saya ke luar kota dan sedang di rumah saudara dengan fasilitas yang mirip dengan rumah seperti makan tiga kali sehari, ibu dan bapak amat jarang mengirimkan sms yang serupa. Ini membuat saya rindu dengan rumah.

Ah, saya tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya jika saya pergi ke perantauan untuk bekerja, membantu bapak dan ibu membiayai sekolah kedua adik. Apakah mereka masih menanyakan tidur dimana ketika saya sudah memiliki tempat kos yang layak? Apakah mereka masih menanyakan sudah makan apa belum ketika saya sudah memiliki jatah makan dari kantor? Apakah mereka masih menanyakan uangnya cukup atau tidak karena saya belum bisa mengatur keuangan?

Postingan ini mulai terasa sentimentil.

Kini kamarnya teratur rapi
Ribut suaranya tak ada lagi
Tak usah kau cari dia tiap pagi

Dan jika suatu saat buah hatiku buah hatimu
Untuk sementara waktu pergi

Usalah kau pertanyakan kemana kakinya kan melangkah
Kita berdua tahu dia pasti pulang ke rumah

…pulang ke rumah…

Monday 11 August 2014

Membaca Bekisar Merah oleh Ahmad Tohari

Aku punya kawan. Namanya Ikal. Sekampus beda jurusan. Bacaan kita sama: novel-novel lama, novel-novel sastra terbitan Balai Pustaka, dan semacamnya yang seringkali aku amat jarang menemukan orang yang punya selera tua yang sama. Aku maklum dengan diriku. Karena aku memang anak muda salah era (kapan-kapan kuceritakan akan hal ini).

Dari dia aku merasa kecil. Jaman dia SMA, bacaannya sudah novel sastra terbitan Balai Pustaka. Aku: novel teenlit yang digilir di kelas. Dari dia juga aku dapat eBook novel tahun 80an (cmiiw) Cintaku di Kampus Biru oleh Ashadi Siregar berikut triloginya. Dan eBook tersebut aku print ke kertas novel, lalu akan kujilid. Sayangnya karena printer rusak, maka aku urung. Dia juga mengusulkan beberapa nama yang harus aku baca karyanya. Salah satunya karya Ahmad Tohari.

Aku sempat browsing film yang bagus di Indonesia. Salah satunya adalah Sang Penari. Penasaran, aku lihat di Youtube. Sebelumnya aku sudah tahu kalau Sang Penari adalah bentuk adaptasi novel dari Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Tertarik dengan ceritanya, aku baca review-review yang ditulis terhadap film tersebut. Lalu bukunya. Ternyata, Ronggeng Dukuh Paruk memiliki trilogi yaitu: Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala.

Ketika itu aku baru ingat kalau Hestia, kawanku yang berkuliah di Ilmu Perpustakaan, pernah mengusulkan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ketika mengerti sedang belajar sastra. Buka goodreads, ternyata mereka memiliki eBook dari ketiga trilogi tersebut. Aku download ketiganya. Baru terbaca lima halaman di buku pertama, file yang aku simpan di flashdisk tersebut di-format oleh adikku.

Sabtu kemarin, aku mengiyakan ajakan saudaraku, Nanda, untuk mencari binder yang sesuai dengan keinginannya di beberapa toko buku terdekat. Di Petra Togamas, ia tak menemukan barang yang sesuai dengan keinginannya. Namun aku menemukan cita-citaku : Ronggeng Dukuh Paruk cover film. Fyi, novel dengan cover film ini di dalamnya berisi ketiga trilogi yang sebelumnya dijual dalam keadaan terpisah. Aku menimangnya. Tapi tak kubeli. Klise saja : uangku tak cukup.

Di Gramedia Expo, Nanda menemukan benda yang ia inginkan. Mirip dengan apa yang benar-benar ia inginkan. Namun aku tak melirik satu novel pun di sana. Setelahnya, motor ku arahkan ke Toko Buku Murah Online. Namanya saja yang ‘online’. Disana aku kembali menemukan buku Ronggeng Dukuh Paruk. Tetap saja tak kubeli. Selain uangku tak cukup, plastik segelnya terbuka setengah.

Namun aku melirik Di Kaki Bukit Cibalak yang harganya pas dengan uang yang kubawa. Tapi pilihan jatuh kepada Bekisar Merah. Jika ditanya kenapa, aku jawab saja berjodoh. Meski harganya agak menyembul dari nominal yang aku bawa, akhirnya dengan meminjam uang lima ribu dari Nanda, aku berhasil membawanya dalam pelukan.

Hari ini baru masuk bab tiga, halaman 75. Dan baru kali ini aku menandai halaman dengan sticky notes transparan warna-warni sebagai penunjuk adegan yang menarik, nasihat, kalimat, fakta yang menjadi pertanyaan, dan sebuah tembang yang dinyanyikan oleh Eyang Mus. Sensasinya luar biasa. Karena aku biasa memakai sticky notes dengan ukuran besar yang kutempelkan di pembatas sebagai catatan jika menemukan kosakata baru. Tak pernah menandai beberapa hal yang menarik dengan penanda tertentu. Jika ingin membacanya lagi, maka aku mencari halamannya.

Ada nasihat berupa bagaimana cara agar suami tidak marah ketika kaki tempat tidurnya telah dibakar untuk memanasi tungku, sampai tentang tanah sebagai sumber kehidupan untuk anak cucu meski luasnya hanya secuil. Dan banyak lagi yang harus kau baca sendiri.

Membaca Bekisar Merah yang dilanjutkan dwiloginya yang masih dalam satu buku, Belantik, dapat membuat bahagia. Tunggu saja resensi dari saya ya. Anggap saja ini Pre-Resensi.



ps: aku belum menyelesaikan Larung oleh Ayu Utami. Novel tersebut sudah kelangkahan berapa novel ya hehe