Friday 5 October 2012

Hai.

Namaku Jingga. Sudah lebih dari setahun aku terus-terusan menunggu. Duduk di tepi jendela, melihat ayunan yang menggantung sendiri bergoyang perlahan ditiup angin. Ayunan saja tak pernah bisa diam sendiri, meski tidak sedang ditunggangi. Ada angin yang selalu menjelaskan kepada pegangannya bahwa tanpa orang yang mendudukinya, ayunan tetap sejati untuk berayun.
Kata orang, jingga itu warna senja yang indah. Warna yang tenang, layak untuk dijadikan sandaran kelelahan sepulang bekerja. Warna yang layak untuk membuat alasan pulang, tanpa harus tahu kemana rumah untuk pulang. Warna yang selalu ditebak setelah sore. Padahal tidak. Pada senja di pagi hari, jingga adalah alasan untuk terjaga dan mencecap karena membuat orang harus beranjak kemudian pergi meninggalkan rumahnya.
Aku jingga yang kedua.

No comments:

Post a Comment