Perempuan itu memangdangku lewat
bingkai kaca matanya yang berwarna hitam kecoklatan. Isi bingkainya bulat, berputar-putar
mirip bumi. Dalam setiap kedipannya, tertera jelas kalau ia selalu menyebut
beberapa nama Tuhan dalam sebuah doa. Ia memejamkan matanya, seperti menolak untuk
memandang mata lain selain mata-mata dalam sela huruf kecil yang berbaris minta
dimakan oleh matanya.
Tatapannya kembali tenggelam
dalam bukunya. Namun tak lama, setelah―sepertinya―menelan satu kalimat pada
paragraf pertama, ia menutup bukunya. Jemarinya meraba-raba tekstur sampul
buku. Seperti sidik jarinya memang butuh berkenalan dengan sampul buku yang―sepertinya―baru
dibeli.
Tiap jilid diraba, tiap mili
berkenalan dengan sidik jarinya. Ujung-ujung buku, lem yang mencuat di bagian
jilidannya, sisi sampul yang sedikit rusak sehabis masuk tasnya, dan terakhir,
tekstur kertas yang ada di dalamnya. Diraba satu-persatu, lembar demi lembar,
halaman demi halaman. Seperti takut bukunya terkena cacat.
Ia kembali memejamkan matanya, namun
kali ini pada tengah halaman. Dan kulihat, ia sedang menghirup hebat-hebat bau
kertas cetakan yang baru keluar dari percetakan. Kelopak matanya menyelimuti
kata nikmat yang tertata di kedua bola mata yang sengaja disimpannya sendiri.
Alas cangkir kopi pesanannya―sepertinya―mampu
membuka matanya terbuka dan meletakkan bukunya, menghentikan perilaku anehnya.
Kemudian terseyum kepada pelayan kafe berucap ‘Terima Kasih’ sambil meraih
pegangan cangkir kopinya. Namun, ia kembali memejamkan matanya dan menghirup
hebat-hebat kopinya yang belum ia bubuhi gula.
Tanpa membuat kopi dalam cangkir
tersebut sedikit lebih dingin agar lebih ramah dengan lidahnya, tanpa
berkomentar apa-apa dan tetap memejamkan matanya, ia menyeruput pelan kopinya.
Seperti dia saja yang mampu dan cukup rasa, tak bisa ungkap. Selebihnya, orang
lain tak boleh tahu.
Setelah―sepertinya―memberi
kesempatan kepada lidahnya untuk berinteraksi dengan kopi yang baru saja
diminumnya, ia membuka matanya, meletakka semua yang ia lakukan. Diam,
mengaitkan kedua tangannya, menopang dagunya, dan kembali memejamkan matanya.
Musik lawas yang sepertinya ia kenal memenuhi ujung-ujung ruang dengarnya.
Ujung bibirnya seakan mencaci pada tengah lagu.
Senyummu masih menawan, cerita cinta masih
akan datang.
Disana kau berdiri, dalam bayang kelabu.
Mengharapkan ia kembali.
Namun kau kan sadari, segera atau nanti,
semua tinggal indah kenangan.
Lagu usai, dan matanya rerbuka
lebar. Kali ini menelusuri ujung-ujung interior kafe. Oh, jangan paksa aku
untuk jatuh cinta kepadamu, karena aku tak punya cukup kata untuk beri
alasannya.
*
Jangan bilang aku tak akan pernah
jatuh cinta kalau aku tak cukup tahan menatapmu lewat bingkai ini. Dan ya, aku
tak cukup lebih lama menatapmu seperti ini. Asal kau tahu, setiap kedipnya
merupakan permohonan semoga kau dapat tahu.
Ini buku pertama yang kubeli
dalam bulan ini. Meski ini akhir bulan, tapi aku tak bisa tahan untuk membeli
buku. Dan aku tak pernah tidak jatuh cinta kepada kalimat pertamanya dalam
sebuah buku. Maka, nyaris semua buku yang baru kubeli, kubaca kalimat
pertamanya saja, agar aku merasakan jatuh cinta terlebih dahulu sebelum akhirnya
melahap kalimat setelahnya sampai habis.
Tapi, bagaimana kau bisa jatuh
cinta pada kalimat pertama sebuah buku kalau kau tak lebih dulu jatuh cinta
kepada sampulnya? ‘Judge the book by it
cover’. Apakah toko buku memajang isi buku yang ia jual? Sampul inilah
pahlawannya. Jilidannya yang sedikit tidak rapi, kalimat-kalimat yang tertera
pada back covernya, sudut-sudut buku yang seharusnya dibuat melengkung agar
lapisan lainnya tidak rusak. Semuanya pantas diraba, termasuk tekstur
kertasnya.
Aroma tinta yang tercetak di
barisan kertas kasar dan aroma kertasnya. Seperti kau tak akan jatuh cinta lebih
dalam sebelum kau akhirnya tahu bagaimana aroma tubuh yang dikenakannya tiap
pagi. Kalau mengira aku membuka mataku karena langkah sepatu pelayan kafe yang
mendekat ke mejaku, atau pantat cangkir yang beradu dengan alasnya karena baru
saja diletakkan di meja kayu di depanku, kau salah. Aku begitu kuat merasakan
aroma kopi yang mengarah kepadaku.
Aku tak pernah suka meniup kopi
untuk menjadi lebih dingin. Karena meniup kopi yang panas adalah kesalahan
besar. Pertama, gas CO2 yang keluar dari mulut tak baik untuk kopi, karena
akan mengacaukan kafein yang ada di dalamnya. Kedua, meminum kopi dalam keadaan
dingin adalah kenikmatan yang bodoh. Kuhirup hebat-hebat aroma kopinya, dan
kutiup permukaan luar cangkirku.
Sinikini – Dan Senyumlah. Lagu tua
paling keren sepanjang masa dalam telingaku. Kunikmati dalam diam, sambil
memejamkan mata, agar orang lain tidak tahu ini lagu indah seperti apa, dan
supaya aku sendiri saja yang selamanya jatuh cinta dengan lagu ini. Aku tak mau
membuat orang lain jatuh cinta kepada lagu ini. Tapi kalau lagu ini membuat
orang lain lebih jatuh cinta, aku akan lebih bahagia.
Kepada udara dan semesta yang tak
cukup ku raih yang menyelubungi ujung-ujung ruangan ini, kutitipkan bisikan
padanya, kepada lelaki yang sedari tadi memandangiku, aku jatuh cinta, dan aku
perempuan paling hidup yang belum pernah ia temui.
*Surabaya, Aiola
Eatery. Jl Slamet no 16. 28-12-12. 09.23pm
ps : kita tidak akan pernah tahu kalau kita tidak bicara, kan? :)