Wednesday 10 December 2014

Akibat Membaca Adat Daerah

Membaca novel fiksi yang menceritakan tentang penolakan atas sebuah adat yang mengukungnya, terkadang membuat saya berpikir untuk menulis juga tentang adat dan norma yang berlaku di dalam hidup saya. Dalam hal ini, adat yang saya maksud adalah adat orang jawa.
Namun sayangnya, saya tidak bisa melakukannya. Bukan karena adat tersebut terlalu sempurna sehingga saya tak bisa menentangnya. Atau malah saya berpihak kepada adat tersebut karena ia sama sekali tidak mengganggu hidup saya. Melainkan karena saya hidup di tahun 2014.
Barangkali jika saya menjadi nenek atau ibu, saya akan dapat banyak bercerita. Tentang tentangan atau dukungan.

Monday 1 December 2014

Ingatan Tentang Mbah Kung

Sore yang masih sama seperti sore-sore sebelumnya. Kudapati Mbah Kung duduk di ruang tamu, di kursi hijau dekat radio, menghadap ke pintu rumah. Lagu campursari berkumandang. Sarung coklatnya masih menempel selepas sholat Ashar, suaranya merdu mengikuti alunan lagu. Apalagi tepuk tangannya. Tak pernah bisa dipisahkan dengan matanya yang sesekali tertutup karena menikmati lagu. Seperti lupa kalau beliau sudah punya cucu tiga.

Atau jika sore hujan angin dan listrik mati sehingga tak dapat menyalakan radio, yang dilakukan Mbah Kung adalah nembang. Ditemani kopi, pisang goreng, dan aku yang sedang membaca di teras depan rumah. Menyenangkan.

Hari ini Mbah Kung tak menanyakan lagi ada pentas apa di THR. Dulu, ketika Mbah Kung masih ingat cara mengendarai sepeda motor, aku adalah pilihan pertama dan satu-satunya yang akan diajak pergi ke THR atau ke Taman Budaya Cak Durasim. Sebagai asisten pembaca jadwal pementasan ludruk, ketoprak, wayang, atau campur sari.

Namun, ketika usianya memakan segala ingatan tentang tetek bengek THR dan seni pertunjukan tradisional lainnya, yang tersisa adalah menanyakan apakah aku sudah membeli tiket masuk pertunjukan Ketoprak yang dihadiri oleh Kirun.

Kala itu November. Hujan tak bisa terprediksi. Bisa-bisa hujan angin. Karena tak ingin kehabisan tiket, aku menerobos hujan deras sehabis kuliah seharian. Sampai THR pukul 6 sore dengan basah kuyup. Kubeli 2 tiket.

Sampai di rumah, kupamerkan dua tiket yang disampul plastik. Mbah Kung hanya berkata, “Numpak opo? Iso mbonceng aku?” (Naik apa? Bisa memboncengku?) Aku tak kecewa. Sama sekali tidak. Mbah Kung hanya menanyakan apakah aku sudah membeli tiket. Tak pernah menawarkan dirinya untuk ikut serta.

Pada hari pertunjukan, hatiku melengos. Tak sampai dua puluh orang hadir untuk menonton. Kupilih baris kedua depan panggung dengan mudahnya. Pertunjukan berlangsung dengan ringannya. Jika Mbah Kung dapat hadir, barangkali suaranya tertawa adalah yang paling keras.

Belum selesai pertunjukan, seorang kakek yang duduk di belakangku menyodorkan dua tiket doorprize-nya kepadaku. Katanya, barangkali aku yangbedjo. Kemudian ia pulang bersama cucu perempuannya. Dan ketika itu aku rindu Mbah Kung.

Yang dalam ingatanku, Mbah Kung yang jago nembang, Mbah Kung yang tenang tapi pandai melucu, Mbah Kung yang petuah-petuahnya bisa kucerna dengan sifatku yang keras kepala, Mbah Kung yang mewarisi gaya tulisan aksara jawa kepadaku yang kata Mbah Uti sama persis.

Ah, namun sayangnya, aku baru pertama kali bertemu Mbah Kung ketika beliau sudah tidak bisa merespon cepat dengan siapa dia berbicara dan tak dapat mengenali orang dengan mudah.

Surabaya, 1 Demember 2014

**

Mendadak rindu Mbah Kung. Rindu kepada manusia yang hanya bertemu sekali. Itupun tak sampai satu jam dan hanya berinteraksi melalui ciuman tangan dua kali. Paragraf terakhir menerangkan tentang bagaimana keadaan Mbah Kung ketika aku bertemu dengannya.

Mbah Kung masih hidup. Tapi, aku dan ibuku tak pernah tumbuh bersamanya semenjak kecil. Jadi, selama ini aku membuat ingatan tentang beliau meski tak sepenuhnya benar. Sebenarnya hanya tak sebatas ini ingatan yang kubuat. Tapi, aku terbata dengan ingatan tersebut. Karena ingatan di atas tak pernah terjadi.

Cerita di atas adalah komparasi antara ingatan yang kubuat tentang Mbah Kung dan peristiwa yang membuatku rindu kepadanya. Kadang aku juga menerka apa yang biasa ia lakukan jika aku tumbuh bersama beliau.

Jadi, beginilah Nita kalau sedang rindu, tapi orangnya tak pernah bertemu atau berinteraksi. Suka membuat ingatan.

Ini sudah Demember. Mari kita bicarakan ingatan.

Wednesday 29 October 2014

Debaran Bertemu Debaran


Rumah yang kami tempati sedang dibetulkan. Atap kamarku sampai teras depan masih menggunakan atap lama yang bisa membuat sinar matahari leluasa masuk menerpa kasur.

Rumah ini sudah dibetulkan semenjak aku duduk di bangku SD. Material yang menyusun rumah kami sudah tua. Beberapa yang bermaterial kayu telah hamper habis dimakan rayap. Kata ibu, rumah kami hampir roboh.

Namun, karena keterbatasan biaya, bapaklah yang mengerjakan hampir semua pekerjaan pembetulan rumah. Karena alasan yang sama juga, pembetulan rumah tidak dapat dilakukan hanya dengan hitungan bulan. Melainkan dengan hitungan tahun.

Yang kusuka dari acara pembetulan rumah adalah kami seakan mendapatkan kesempatan yang langka : bertukar tempat tidur.

Tak ada kalimat kepemilikan “Ini kamarku, tidur saja sendiri di kamarmu.” Yang menurutku membuat seorang mengotak-ngotakkan kepentingan dan privasi dalam sebuah ruangan yang disebut kamar.

Hari ini aku tidur berdua dengan adik di kamar ibu. Besok bisa saja tidur sendiri di kamar adik. Atau malah tidur bersama ibu, nenek dan adik di ruang tamu. Menyenangkan.

Yang kusuka dari tidur bersama adalah : debaran bertemu dengan debaran. Setidaknya itu yang kurasakan ketika tidur bersama adik. Apalagi ketika keduanya masih terjaga dan saling bertatapan.

Pernah mengenal percobaan getaran yang dirasakan oleh telinga ketika ditempelkan pada rel kereta api? Atau, praktek dengan dua gelas air mineral yang dihubungkan oleh sehelai benang yang panjang yang kemudian bisa mengantarkan suara?

Dengan teori yang sama, aku percaya dengan adanya penghantaran debaran jantung ketika sedang tidur beralaskan kasur yang sama. Jadi, secara tidak langsung kita sebenarnya dapat ikut merasakan debaran jantung seseorang ketika sedang tidur dengan alas yang sama.

Aku  juga pernah mendengar bahwa yang dapat mendekatkan dua orang manusia adalah makan bersama, tidur bersama, dan mandi bersama. Aku  selalu menganggap bercanda tentang poin yang terakhir. Dan biasanya, untuk merekatkan rasa, dalam berteater dibutuhkan makan bersama dan tidur bersama tersebut.

Cukup logis jika kedua premis tersebut dikaitkan menjadi sebab akibat. Menurutku.

Aku juga percaya bahwa tidur adalah titik dimana manusia paling terlihat jujur. Karena mana mungkin kita dapat mengendalikan diri kita untuk tidak kentut dengan suara yang keras, kan? Dalam keadaan terjaga, seseorang akan izin untuk keluar untuk melepaskan gas tersebut atau malah main tuduh ketika gas tersebut berbau sangat menyengat.

Ini hanya racauan mentah. Apakah iya teori tersebut pernah dibahas dari banyak aspek, aku belum pernah membacanya. Jika ada dan hendak berdiskusi, silakan hubungi saja. Lagi pula, kalimat-kalimat diatas adalah hasil dari pemikiranku saja. Karena tidak ada yang akan tertarik dengan bahasan yang tidak penting seperti ini, maka kuputuskan untuk kurekamnya dengan menulis di blog. Siapa tahu aku mendapat orang dengan pemikiran yang sama. Kan lumayan.

Jadi, barangkali aku akan sering memposting tentang racauan racauan di dalam otakku ke dalam tulisan seperti ini. Karena meracau itu menyenangkan. Dan menulis itu mengasyikkan!

Friday 3 October 2014

Kebiasaan Berulang dan Tak Dilarang

Siapa yang tak bahagia jika pekerjaan yang menjadi pengisi di waktu luangnya telah menjadi pekerjaan yang selalu mengisi. Meskipun membuatnya harus menyisihkan waktunya untuk melakukan pekerjaan tersebut. Bahkan, pekerjaan tersebut telah mengisi sudut ruang pikirnya yang tak sadar.

Ini mengenai hobi saya. Menulis, tentunya. Sebenarnya saya tak pernah paham menulis ini adalah hobi atau bakat.

Saya mulai menulis ketika masih memakai dasi berwarna merah setiap hari. Ingatan saya tentang menulis ketika itu adalah ketika kelas enam SD, saya pernah membuat sebait puisi entah tentang apa di buku paket kawan sebangku yang saya kira adalah buku paket saya. Dan sejak waktu itu saya selalu menyisakan satu halaman di setiap buku tulis untuk mencoretinya.

Karena kedua orang tua saya tak pernah melarang anaknya melakukan apapun asalkan positif, maka kebiasaan menulis saya semakin menjadi. Apalagi ibu memperbolehkan dua sampai tiga halaman belakang di setiap buku tulis anaknya adalah halaman yang sah untuk keperluan lain selain mencatat. Banyak rangkaian kalimat yang terlatih dan terekam dari halaman tersebut.

Banyak yang bilang jika tulisan saya indah. Diksinya ajaib, diskripsinya membuat terbayang, dan majasnya tak pernah terpikirkan. Namun, jika ada yang menyeletuk bahwa ini adalah bakat, saya tak akan pernah menolak untuk mendapatkan anugrah langka dari Tuhan yang satu itu.

Jika memang menulis ini bakat, barangkali itu adalah turunan dari bapak dan ibu ketika saya berada dalam kandungan. Karena ibu tinggal di Surabaya dan bapak bekerja di Palembang, maka suratlah yang mengisi komunikasi diantara mereka. Saya pernah tak sengaja menemukannya. Dan tiga jam membaca surat-surat mereka seperti berlalu lewat begitu saja.

Kata seorang kawan, hal itu bisa saja terjadi. Karena ketika mengandung, apa saja yang dilakukan orang tua, dapat langsung menurun atau tertular ke anaknya. Maka dari itu, orang tua pantang melakukan beberapa hal buruk seperti yang dipercaya orang jawa. Contohnya kawan saya. Ibunya suka melihat kesenian tradisional jawa ketika mengandungnya. Hasilnya, dia suka mempelajari seni karawitan, tembang-tembang jawa, dan kesenian tradisional lainnya.

Tak jarang dalam pertemuan yang mengumpulkan orang-orang yang memiliki keterterikan dalam bidang yang sama (seputar menulis dan sastra) dimana ketika itu terdapat beberapa orang yang sudah mengenal saya dan tulisan-tulisan saya, mereka selalu menyeletuk kecintaan saya terhadap menulis. Sehingga menulis seperti predikat yang tak sengaja menggantung dalam nama saya. Saya tak dapat menolak untuk bersyukur.

Bagi saya, menulis adalah salah satu media yang dapat membuat saya lebih percaya diri. Tak jarang saya lolos dalam beberapa screening dengan metode essay dalam pendaftarannya. Karena saya percaya pada kekuatan penuh dalam tulisan saya. Semudah itu.

Meski belum pernah menjuarai lomba, menghasilkan buku, atau bahkan banyak tulisannya yang terpotong tak sampai seperempatnya, saya mencintai menulis entah sejak kapan dan sampai kapan. Entah ini passion saya atau bukan, yang jelas menulis telah menyerang saya seperti apa yang saya jelaskan pada paragraf pertama. Karena saya percaya kalau passion tak pernah menghianati tuannya meskipun keduanya saling menyakiti.

Tak sedikit pengalaman buruk tentang menulis datang. Salah satunya pernah dijiplak dan diubah oleh seseorang, yang kemudian di-post di blognya karena saya sempat mengunggahnya ke internet. Salah seorang kawan saya yang amat tahu bagaimana gaya saya menulis yang melaporkan hal tersebut. Kecewa dan marah jelas ada. Saya hanya menegurnya. Namun sampai detik ini saya masih melakukan hal yang sama : mengunggah karya-karya kecil saya ke internet.

Meski saya suka menulis, nilai pelajaran Bahasa Indonesia saya tak pernah melebihi angka 8. Saya tak pernah hapal majas-majas dan tak pernah bisa membuat sebuah kalimat dari majas yang ditentukan, namun ketika menulis barang satu paragraf saja, isinya majas semua. Tak pernah mengerti bagaimana struktur kebahasaan, kalimat baku, ejaan yang disempurnakan (EYD), dan hal teknis lainnya.

Karena menulis sejatinya adalah tak menghadirkan teori. Setidaknya itu yang saya lakukan selama beberapa tahun belakangan.

Saya tak pernah bisa menjawab bagaimana teknik dan cara agar tulisan menarik. Karena sampai hari ini proses menulis yang saya jalani masih dalam proses pengolahan. Belum matang. Saya hanya bisa berkata: ’menulislah saja tanpa cara’. Roma tak dibangun dalam sehari.

Jika memang bakat menulis dalam diri saya adalah salah, setidaknya menulis adalah salah satu kebiasaan yang berulang dan tak dilarang.

Friday 22 August 2014

Resensi Bekisar Merah (dan Belantik) Karya Ahmad Tohari







Judul : Bekisar Merah
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013
Cetakan : Cetakan Kedua, Maret 2013 (Cover Baru)
Jumlah Halaman : 360 Halaman

SINOPSIS

Bekisar adalah unggas elok hasil kawin silang antara ayam hutan dan ayam biasa yang sering menjadi hiasan rumah orang-orang kaya. Dan, adalah Lasi, anak desa berayah bekas serdadu Jepang yang memiliki kecantikan khas---kulit putih, mata eksotis---membawa dirinya menjadi bekisar di kehidupan megah seorang lelaki kaya di Jakarta, melalui bisnis berahi kalangan atas yang tak disadarinya.

Lasi mencoba menikmati kemewahan itu, dan rela membayarnya dengan kesetiaan penuh pada Pak Han, suami tua yang sudah lemah. Namun Lasi gagap ketika nilai perkawinannya dengan Pak Han hanya sebuah keisengan, main-main.

Hanya main-main, longgar, dan bagi Lasi sangat ganjil. karena tanpa persetujuannya, Pak Han menceraikannya dan menyerahkannya kepada Bambung, seorang belantik kekuasaan di negeri ini yang memang sudah menyukai Lasi sejak pertama melihat wanita itu bersama Handarbeni. Lasi kembali hidup di tengah kemewahan yang datang serbamudah, namun sama sekali tak dipahaminya. Apalagi kemudian ia terseret kehidupan sang belantik kekuasaan dalam berurusan dengan penguasa-penguasa negeri.

Di tengah kebingungannuya itulah Lasi bertemu dengan cinta lamanya di desa, Kanjat, yang kini sudah berprofesi dosen. Merea kabur bersama, bahkan Lasi lalu menikah siri dengannya. Nmaun kaki-tangan Bambung berhasil menemukan mereka dan menyeret Lasi kembali ke Jakarta,. Berhasilah Kanjat membela cintanya, dan kembali merebut Lasi yang sedang mengandung buah kasih mereka?

**

Sebelum saya membaca Bekisar Merah, saya telah membaca e-Book dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak. Meski hanya sampai 3 halaman saja, setidaknya saya sudah berkenalan dengan gaya bahasa Ahmad Tohari yang ringan, lugas, dan sederhana.

Buku ini diawali dengan segala detil suasana desa Karangsoga ketika hujan sedang turun. Cara penulis membawa suasana tersebut dengan cara menceritakan satu detil kejadian kecil dalam suasana tersebut, lalu loncat ke deskripsi suasana kecil yang lainnya, hingga akhirnya meruncing tentang salah satu tokoh yang bernama Darsa sebagai penyadap nira.

Cerita begitu mengalir dengan deskripsi dan narasi yang begitu detil namun sederhana. Apalagi penulis selalu menceritakan keadaan desa Karangsoga secara terperinci dan detil. Membuat saya, atau bahkan perantau yang penat dengan kesibukan kota ingin segera kembali ke desa untuk sekadar pulang, berlibur, atau menikmati suasana dan udara yang tak dapat mereka beli di kota. Saya rindu Trenggalek.

Karena ketika menulis saya selalu mengedepankan deskripsi dan narasi, maka tulisan Ahmad Tohari patut diacungi jempol dan dapat dijadikan contoh dalam membuat deskripsi dan narasi yang detil, ringan, dan mampu membawa imajinasi pembaca.

Banyak nilai tambah yang terkandung dalam buku ini. Nasihat-nasihat jawa, tembang-tembang jawa buatan Eyang Mus, quote yang menggunakan bahasa jawa lalu diartikan ke bahasa Indonesia, kritikan kepada mahasiswa, pandangan penulis terhadap kejadian yang terjadi di permukaan masyarakat yang diolah dalam bentuk percakapan atau narasi, dan sebagainya.

Saya sendiri membaca kurang lebih empat poin yang saya tulis berdasarkan pendangan saya dari buku ini.
  1. Lasi adalah perempuan berdarah setengah Jepang. Di desa tempat ia lahir, tumbuh, besar, dan menikah, Karangsoga, keberadaannya kerap menjadi olok-olok bagi kawannya ketika kecil karena memiliki ciri khas tubuh yang berbeda dengan lainnya: kulitnya yang putih bersih dan matanya yang khas. Setelah ia dewasa, ia pun menjadi bulan-bulanan warga desa Karangsoga, seperti karena tak kunjung menikah, setelah menikah tak kunjung punya anak, sampai dihianati suaminya. Namun, ketika kakinya menginjak kota Jakarta, ia seperti barang berharga yang diagung-agungkan oleh beberapa pihak sehingga karena kenaifannya, ia menjadi objek bisnis berahi kalangan elite.
  2. Dikutip dari percakapan Kanjat dan dosen pembimbing skripsinya, Doktor Jirem : “Keterpihakanmu terhadap masyarakat penyadap, saya kira, merupakan manifestasi perasaan utang budi dan terima kasihmu kepada mereka yang telag sekian lama memberikan subsidi kepadamu. Ini bukan sebuah dosa ilmiah. Jat, kamu tahu, sudah terlalu banyak kaum sarjana seperti kita yang telah kehilangan rasa terima kasih kepada “ibu” yang membesarkan kita. Mungkin karena, ya itu, mereka seperti kamu, takut dibilang sok moralis. Mereka lebih suka memilih hanyut dalam arus kecenderungan pragmatis. Agakanya mereka lupa bahwa dari segi-segi tertentu pragmatisme menjadi benar-benar amoral. Jadi mereka jadi amoral karena takut dibilang moralis.
    Maka banyak sarjana seperti kita lupa, atau pura-pura lupa bahwa misalnya, guru yang mendidik mereka dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi digaji oleh masyarakat; bahwa sarana pendidikan yang mereka pakai dari gedung sekolah sampai laboratorium juga dibiayai dengan pajak orang banyak. Mereka lupakan ini semua sehingga status yang mereka peroleh dari sesarjanaan mereka hampir tak punya fungsi sosial. Mereka sekana merasa bahwa status kesarjanaan yang mereka peroleh semata-mata merupakan prestasi pribadi karenanya hanya punya fungsi individual.

    Jat, dengan demikian amat banyak sarjana seperti kita yang kehilangan keanggunan di mata masyarakat yang telah membesarkan kita. Mereka tak bisa berterima kasih dan membalas budi. Maka jangan heran bila masyarakat telah kehilangan banyak kepercayaan dan harapan atas diri orang-orang seperti kita.”

    Sebagai mahasiswa, membaca kalimat-kalimat Doktor Jirem seperti ditampar oleh dosen yang menjadi panutan dan saya hormati. Sakit, mengena, dan membuat saya sadar kalau saya mahasiswa yang belum melakukan apa-apa untuk Indonesia.
  3. Berkaitan dengan poin sebelumnya. Pak Tir barangkali ia adalah sebagai wakil atau simbol dari masyarakat pada umumnya. Menyekolahkan anaknya, Kanjat, sampai ke perguruan tinggi dan tidak tahu apa itu makna dari Tri Dharma Perguruan Tinggi (TDPT), berpikiran bahwa sarjana yang telah lulus ‘harusnya’ bekerja, berlomba-lomba menjadi Pegawai Negeri, bergaji banyak, lalu makmur. Pak Tir sendiri tidak tahu jika ada yang harusnya ‘dikembalikan’ kepada rakyat.
  4. Allah SWT menghadiahkan satu bulan istimewa dalam satu tahun yang mana lebih istimewa dari seribu bulan: Bulan Ramadhan. Dalam kesusahan hidup masyarakat Karangsoga, mereka lantas amat bersyukur atas datangnya bulan yang penuh berkah tersebut. Dimana ketika kebutuhan gula naik, sehingga penyadap nira di Karangsoga mendapatkan nilai jual lebih besar dan mahal dari gula yang dibuatnya. Fakta ini menyebabkan kehidupan di Karangsoga makmur dalam kurun waktu satu bulan. Dalam hal ini penulis mampu menceritakan suka cita yang meruah yang saya sendiri dapat merasakan kegembiraannya. Apalagi ditambah tembang milik Eyang Mus:

Dina Bakda uwis leren nggone pasa
Padha ariaya seneng-seneng ati rag
Nyandhang anyar sarta ngepung sega punar
Bingar-bingar mangan enak nganti meklar
Di hari Lebaran sudah kita purnakan puasa
Kita berhari raya , bersenang jiwa dan raga
Berbusana baru, menyantap nasi pulen
Riang gembira santap enak hingga perut
Kenyang benar
Sebetulnya ada banyak poin yang menarik untuk dibahas. Tapi hanya empat poin di atas yang membuat saya berhenti membaca, berpikir, dan bernapas dalam karena ikut memikirkan dan merasakan apa yang dituliskan penulis.

Sebagai orang jawa, penulis sering memasukkan kalimat-kalimat dan frasa-frasa yang berbahasa jawa, seperti yang saya jelaskan di atas. Meski diberi keterangan berupa bahasa Indonesia, tetap saja bagi saya yang notabene juga berdararah Jawa, pembawaan bahasanya akan terasa berbeda. Ini menjadi nilai tambah yang juga sekaligus menjadi nilai kurang untuk mereka yang tidak mengerti bahasa jawa ketika keterangan bahasa indonesianya tidak dimunculkan.

Dari segi penokohan, penulis cukup mampu menyajikan karakter yang kuat. Meski digambarkan seperti Lasi yang begitu polos dan Kanjat yang sepertinya pasrah terhadap apa yang diterima Lasi, menurut saya hal tersebut adalah cara penulis bagaimana menguatkan karakter-karakter yang dibuatnya. Apalagi keberadaan Eyang Mus yang menurut saya beliau adalah karakter yang memiliki jiwa tersendiri yang sengaja dimunculkan penulis dalam buku ini.

Setiap buku selalu memiliki nilai kurang karena ditulis oleh manusia. Seperti buku ini. Yang pertama, terjadi kontras ketika penulis menceritakan tentang kota Jakarta. Tak sebegitu terperinci seperti mendeskripsikan desa Karangsoga. Membuat saya bertanya apakah hal ini berkaitan dengan unsur ekstrinsik penulis? Yang mana menurut biografi singkat yang saya baca dari internet, penulis tidak betah tinggal di kota besar dan sampai hari ini tetap bertahan untuk tinggal di tempat kelahirannya, Banyumas.

Yang kedua adalah plot, terutama dalam pembangunan konflik. Meski memiliki plot yang mengalir dan halus, pembangunan beberapa konflik di akhir cerita terasa kurang. Seperti ketika Lasi mengetahui kalau pernikahannya hanyalah main-main. Hal tersebut diceritakan hanya satu sampau dua halaman. Justru pada konflik pertama pada awal cerita, ketika Lasi dihianati suaminya, pembangunan konflik sangat halus dan konflik yang terjadi begitu terasa, dan memiliki antiklimaks yang pelan dan mengalir.

Yang ketiga dan terakhir adalah kesan tergesa dalam akhir cerita. Temponya berbeda dengan awal cerita yang begitu lamban dan mengalir. Konflik terakhir yang dibangun hanya dibawakan sebanyak tiga sampai empat halaman kemudian diselesaikan dengan menggunakan sebelas sampai lima belas halaman. Barangkali karena penyelesaian terjadi di kota Jakarta, dan berkaitan dengan kekurangan yang saya bahas di atas.


Saya rasa itu saja. Kekurangan yang ada rasanya akan tertutupi oleh nilai tambah yang menawarkan banyak hal yang barangkali jarang dimiliki oleh buku lain. 4,3 dari 5 saya rasa cukup.

Nah, saat ini saya sedang memulai membaca Ronggeng Dukuh Paruk. Ah, kalau saya adalah mahasiswa sastra, sepertinya hubungan unsur ekstrinsik Ahmad Tohari terhadap karya-karyanya menarik untuk dijadikan topik penelitian skripsi. Kalau saja.

Wednesday 13 August 2014

Merantau dan Kepulangan

Oh Ibu, tenang sudah lekas seka air matamu
Sembabmu malu dilihat tetangga

Oh Ayah, mengertilah rindu ini tak terbelenggu
Laraku setiap teringat peluknya


Berkali-kali saya mendengar lagu ini dan baru kemarin sore sebelum berangkat ke kampus mengerti apa maksudnya: percakapan bapak dan ibu ketika anaknya sedang dalam perantauan. Setibanya di kampus, kawan saya bertanya, “Kuliah di Matematika pengabdian kepada masyarakatnya apa saja?” Jujur saya tidak mengerti. Percakapan kami sebelumnya memang mengarah kepada hal tersebut. Adalah tentang KKN yang memiliki hubungan dengan pengabdian kepada masyarakat yang sayangnya tidak diadakan di ITS.

Malamnya, ketika saya membaca buku Bekisar Merah oleh Ahmad Tohari di kamar, saya telah sampai ketika Kanjat mengalami dilema untuk penulisan skripsinya. Isi skripsinya tentang kenyataan-kenyataan tentang penyadap nira di desa Karangsoga, tempatnya dibesarkan. Lantas ia sempat ragu jika penulisan skripsinya menonjolkan keterpihakannya terhadap kehidupan masyarakat di kampungnya. Sayangnya, keterpihakannya tersebut didukung oleh dosen pembimbingnya.

“Jat, kamu tahu, sudah terlalu banyak kaum sarjana seperti kita telah kehilangan rasa terima kasih kepada ‘ibu’ yang membesarkan kita. Mungkin karena, ya itu, mereka seperti kamu, takut dibilang sok moralis. Mereka lebih suka memilih hanyut dalam arus kecenderungan pragmatis. Agaknya mereka lupa bahwa dari segi-segi tertentu pramagtisme menjadi benar-benar amoral. Jadi mereka jadi amoral karena takut dibilang moralis.” Doktor Jirem, Dosen pembimbing skripsi Kanjat, Bekisar Merah oleh Ahmad Tohari hal. 92 cetakan baru.

Percakapan dengan dosen pembimbingnya mengarah kepada pemikirannya tentang biaya pendidikannya yang diambil dari keuntungan yang tidak wajar dari penjualan gula nira yang dijual kepada ayahnya. Dan sekaligus menampar saya sebagai mahasiswi yang sorenya diberi pertanyaan tentang pengabdian kepada masyarakat. Di tengah dilemanya tersebut, Kanjat memutuskan untuk pulang tanpa mengerti apa keperluannya untuk pulang.

Saya menatap langit-langit kamar sebentar memikirkan sesuatu. Kemudian meneruskan membaca.
Beberapa jam yang lalu saya membaca tumblr Banda Neira tentang lagu Di Beranda. Tentang bagaimana proses penemuan lagu tersebut. Dan baru saja saya melihat rak sepatu. Hanya sepatu merah saya yang tersisa. Biasanya ada lima pasang sepatu memenuhi baris pertama. Jika saya pergi, baris pertama tersebut kosong. Barangkali itu yang dirasakan nenek ketika bapak dan ibu pergi bekerja, kedua adik berangkat sekolah dan aku kuliah : kosong.

Tidak sampai 24 jam, saya dihadapkan suatu hal yang berkaitan : merantau dan kepulangan.
Sejak lama saya tertarik dengan pembahasan seperti ini. 21 tahun besar di Surabaya dan hanya pergi ke luar kota tidak sampai sebulan membuat saya kadang berpikir untuk merantau saja selepas kuliah nanti. Alasannya : bosan di Surabaya, ingin merantau, ingin merasakan jauh dari orang tua, ingin merasakan kepulangan karena rindu, ingin merasakan mengumpat rindu, dan semacamnya.

Saya salah satu orang yang sangat mengagumi perantau. Jauh dari orang tua, mengatur keuangan sendiri, mengalami rindu kepada orang tuanya, mengalami interaksi bersama orang tua di telepon, dan semacamnya yang tidak bisa dirasakan saya dan teman-teman yang tidak merantau.

Beberapa dari mereka memiliki kebiasaan yang unik tentang kepulangan. Ada yang tidak bisa pulang karena tidak pernah sempat, ada yang ingin pulang namun terkendala biaya, ada yang selalu memiliki kesempatan pulang, sampai ada yang tidak ingin pulang karena ia menyepelekan perkara pulang. Ada.

Saya amat suka perjalanan ke luar kota bersama teman-teman. Perjalanan tersebut bagi saya adalah miniatur kecil bagaimana merantau nanti. Alhamdulillah, ibu dan bapak tidak pernah membatasi anaknya untuk pergi asalkan kami terbuka mengenai mengendarai apa, dengan siapa, hendak kemana, sampai berapa hari, dan semacamnya.

Dalam perjalanan tersebut, kadang ibu atau bapak sms makan apa, tidur dimana, lagi ngapain, lagi dimana, uangnya cukup atau tidak, dan semacamnya. Tak sedikit dari sms tersebut saya acuhkan. Ini membuat saya tidak rindu rumah. Namun jika saya ke luar kota dan sedang di rumah saudara dengan fasilitas yang mirip dengan rumah seperti makan tiga kali sehari, ibu dan bapak amat jarang mengirimkan sms yang serupa. Ini membuat saya rindu dengan rumah.

Ah, saya tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya jika saya pergi ke perantauan untuk bekerja, membantu bapak dan ibu membiayai sekolah kedua adik. Apakah mereka masih menanyakan tidur dimana ketika saya sudah memiliki tempat kos yang layak? Apakah mereka masih menanyakan sudah makan apa belum ketika saya sudah memiliki jatah makan dari kantor? Apakah mereka masih menanyakan uangnya cukup atau tidak karena saya belum bisa mengatur keuangan?

Postingan ini mulai terasa sentimentil.

Kini kamarnya teratur rapi
Ribut suaranya tak ada lagi
Tak usah kau cari dia tiap pagi

Dan jika suatu saat buah hatiku buah hatimu
Untuk sementara waktu pergi

Usalah kau pertanyakan kemana kakinya kan melangkah
Kita berdua tahu dia pasti pulang ke rumah

…pulang ke rumah…

Monday 11 August 2014

Membaca Bekisar Merah oleh Ahmad Tohari

Aku punya kawan. Namanya Ikal. Sekampus beda jurusan. Bacaan kita sama: novel-novel lama, novel-novel sastra terbitan Balai Pustaka, dan semacamnya yang seringkali aku amat jarang menemukan orang yang punya selera tua yang sama. Aku maklum dengan diriku. Karena aku memang anak muda salah era (kapan-kapan kuceritakan akan hal ini).

Dari dia aku merasa kecil. Jaman dia SMA, bacaannya sudah novel sastra terbitan Balai Pustaka. Aku: novel teenlit yang digilir di kelas. Dari dia juga aku dapat eBook novel tahun 80an (cmiiw) Cintaku di Kampus Biru oleh Ashadi Siregar berikut triloginya. Dan eBook tersebut aku print ke kertas novel, lalu akan kujilid. Sayangnya karena printer rusak, maka aku urung. Dia juga mengusulkan beberapa nama yang harus aku baca karyanya. Salah satunya karya Ahmad Tohari.

Aku sempat browsing film yang bagus di Indonesia. Salah satunya adalah Sang Penari. Penasaran, aku lihat di Youtube. Sebelumnya aku sudah tahu kalau Sang Penari adalah bentuk adaptasi novel dari Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Tertarik dengan ceritanya, aku baca review-review yang ditulis terhadap film tersebut. Lalu bukunya. Ternyata, Ronggeng Dukuh Paruk memiliki trilogi yaitu: Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala.

Ketika itu aku baru ingat kalau Hestia, kawanku yang berkuliah di Ilmu Perpustakaan, pernah mengusulkan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ketika mengerti sedang belajar sastra. Buka goodreads, ternyata mereka memiliki eBook dari ketiga trilogi tersebut. Aku download ketiganya. Baru terbaca lima halaman di buku pertama, file yang aku simpan di flashdisk tersebut di-format oleh adikku.

Sabtu kemarin, aku mengiyakan ajakan saudaraku, Nanda, untuk mencari binder yang sesuai dengan keinginannya di beberapa toko buku terdekat. Di Petra Togamas, ia tak menemukan barang yang sesuai dengan keinginannya. Namun aku menemukan cita-citaku : Ronggeng Dukuh Paruk cover film. Fyi, novel dengan cover film ini di dalamnya berisi ketiga trilogi yang sebelumnya dijual dalam keadaan terpisah. Aku menimangnya. Tapi tak kubeli. Klise saja : uangku tak cukup.

Di Gramedia Expo, Nanda menemukan benda yang ia inginkan. Mirip dengan apa yang benar-benar ia inginkan. Namun aku tak melirik satu novel pun di sana. Setelahnya, motor ku arahkan ke Toko Buku Murah Online. Namanya saja yang ‘online’. Disana aku kembali menemukan buku Ronggeng Dukuh Paruk. Tetap saja tak kubeli. Selain uangku tak cukup, plastik segelnya terbuka setengah.

Namun aku melirik Di Kaki Bukit Cibalak yang harganya pas dengan uang yang kubawa. Tapi pilihan jatuh kepada Bekisar Merah. Jika ditanya kenapa, aku jawab saja berjodoh. Meski harganya agak menyembul dari nominal yang aku bawa, akhirnya dengan meminjam uang lima ribu dari Nanda, aku berhasil membawanya dalam pelukan.

Hari ini baru masuk bab tiga, halaman 75. Dan baru kali ini aku menandai halaman dengan sticky notes transparan warna-warni sebagai penunjuk adegan yang menarik, nasihat, kalimat, fakta yang menjadi pertanyaan, dan sebuah tembang yang dinyanyikan oleh Eyang Mus. Sensasinya luar biasa. Karena aku biasa memakai sticky notes dengan ukuran besar yang kutempelkan di pembatas sebagai catatan jika menemukan kosakata baru. Tak pernah menandai beberapa hal yang menarik dengan penanda tertentu. Jika ingin membacanya lagi, maka aku mencari halamannya.

Ada nasihat berupa bagaimana cara agar suami tidak marah ketika kaki tempat tidurnya telah dibakar untuk memanasi tungku, sampai tentang tanah sebagai sumber kehidupan untuk anak cucu meski luasnya hanya secuil. Dan banyak lagi yang harus kau baca sendiri.

Membaca Bekisar Merah yang dilanjutkan dwiloginya yang masih dalam satu buku, Belantik, dapat membuat bahagia. Tunggu saja resensi dari saya ya. Anggap saja ini Pre-Resensi.



ps: aku belum menyelesaikan Larung oleh Ayu Utami. Novel tersebut sudah kelangkahan berapa novel ya hehe

Thursday 24 July 2014

Bukan Resensi : Dilan oleh Pidi Baiq

Postingan ini dipost juga di tumblr saya. Harusnya postingan ini dipost di disini saja karena saya memosting hal-hal yang agak serius. Seperti postingan ini. Tapi saya ingin memostingnya tumblr dan blog. Kau mau berkehendak apa?

image
Image Source : Google
Buku diatas barusan selesai saya baca. Dalam sehari! Belum saya simpan di rak buku selama seminggu setelah membelinya, tiba-tiba saja saya ingin membuka dan membacanya. Padahal saya belum menyelesaikan Larung milik Ayu Utami.

Alasan saya membeli buku ini? Sebetulnya sederhana. Tapi detilnya agak rumit. Begini :

Senin tanggal 14 lalu, saya berputar-putar sebentar di Gramedia Tunjungan Plaza untuk menunggu janjian sama kawan menonton bioskop. Tiba-tiba saja sebuah judul buku menarik perhatian saya. DILAN : Dia adalah Dilanku tahun 1990. Pengarangnya Pidi Baiq.

Saya teriak histeris tapi berbisik seperti menggumam. Seperti menemukan buku yang telah lama dicari. Padahal, saya baru tahu buku itu hari itu juga. Lantas, kenapa saya histeris?

1. 1990. Saya selalu berharap menjadi remaja tahun 90an. Atau setidaknya dapat jodoh yang tumbuh di era 90an (tua ya hehe).
2. Pidi Baiq. Saya bukan fans amatirnya. Apalagi fanatik. Tapi saya ingat postingan tumblrnya yang beberapanya selalu bikin saya heran dengan sudut pikirnya.

Iya itu saja. Lalu saya punya cita-cita untuk memilikinya. Cover, sinopsis, tetek bengek di belakang buku sama sekali bukan pengaruh utama untuk memiliki cita-cita seperti itu. Sederhana ya? Hehe

Tapi sayangnya, saya harus sedikit urung. Klise : uang yang saya bawa nggak cukup.

Hari Rabu, tiba-tiba iseng untuk pergi ke toko buku diskon dekat rumah. Ingin beli Dunia Sophie kalau masih ada. Sekalian ngecek apa ada novel yang saya cita-citakan untuk dimiliki tersebut. Ternyata ada. Tapi sayangnya, saya harus urung lagi. Uangnya nggak cukup.

Hari Jum'atnya, setelah bahagia karena telah menemukan Cutting Mat dan Pen Cutter yang sedang diidam-idamkan selama setengah tahun belakangan dan dapat diskon sepuluh persen (hehe), motor saya belokkan ke toko buku murah yang Rabu kemarin saya kunjungi. Hari itu kebahagiaanku melimpah ruah. Cita-citaku kesampaian!

Hehe.

Baru saja kemarin, sambil menunggu sahur (liburan, saya nokturnal. Kata ibu, saya ini Kalong. Anak Kelelawar), saya buka bungkus Dilan. Dan saya jatuh cinta ketika aku (Milea) bercerita tentang bahasa yang digunakan Dilan : sedikit melayu dan baku. Lalu saya ingat Zetra Kyanofaruq dan Ananda Badudu.

Berlembar-lembar ditelan mata karena diksinya yang ringan, lalu ketiduran di halaman 200. Dan kulahap sisanya ketika beli kebab dan menemani kawanku pergi bimbingan Kerja Praktek.

Ini Teenlit. Tapi pakai setting tahun 1990. Nggak ada mol, handphone, internet, drama yang berlebihan, si cantik nan modis dan si cupu yang ndeso, dan sebagainya a la teenlit-teenlit era sekarang.

Pertemuan mereka sederhana. Plotnya amat klise. Diksinya biasa saja, tidak banyak narasi. Settingnya itu-itu saja. Dramaturginya apalagi. Hehe.

Tapi saya bisa jatuh cinta. Kluget-kluget (gerakan ulat dalam bahasa jawa) sendiri karena melting, tertawa lepas sendiri, dan tersenyum sendiri. Ya Tuhan, saya jatuh cinta sama Dilan! Sampai-sampai saya enggan meminjamkan buku ini kepada siapapun. Agar yang jatuh cinta sama Dilan saya saja.

Pidi Baiq berhasil membuat saya jatuh cinta kepada Dilan karena karakternya yang lugas, sederhana, manis, menyenangkan, spontan, memiliki sudut pandang yang berbeda, dan pasti membuat jatuh cinta gadis remaja, wanita yang ingin menjadi gadis remaja, sampai perempuan yang mengingat dirinya pernah menjadi gadis remaja.

Apalagi ia menyuguhkan set SMA. Masa yang paling didambakan terulang kembali. Dan tiba-tiba saya teringat dengan Ada Apa Dengan Cinta. Dilan adalah Rangga dengan karakter yang bertolak belakang. Namun keduanya dapat membuat perempuan seperti saya kluget-kluget.

Untuk lebih penasaran, bacalah komentar-komentar pembaca yang lain di goodreads. Ini linknya. Tinggal klik kanan - open in new tab. Tak perlu buka google. Komentar-komentarnya juga mewakili saya banget.
Sudah saya bilang, ini bukan resensi. Semoga saja bukan bukan spoiler.

Ratingnya? 4,5 dari 5. Setengahnya karena kejadian-kejadian yamg membuat Milea penasaran dan saya ikut penasaran nggak dijawab di halaman selanjutnya.

Monday 7 July 2014

Surat Cinta untuk Gembeng

Gembeng.

Itu bukan nama aslinya. Nama aslinya adalah NasZz Safita (facebook), @safeetannas atau Annas Safita. Di Tiyang Alit (UKM teater kampusku), masing-masing anggotanya memiliki nama panggung. Dan beberapa diantaranya yang nyaris tidak punya nama asli. Karena kami biasa memanggilnya dengan nama panggung.

Seperti Gembeng ini. Nama aslinya Tata. Karena mengalami proses yang panjang, akhirnya ia diberi nama panggung Gembeng. Dan semua orang memanggilnya begitu.

Gembeng dan Gombel (saya) setelah Dies Natalis Teater Tiyang Alit 18

Saya nggak pernah menyangka bisa kenal dengan dia. Karena sejak pertama kali mengenal parasnya, yang ada di kepala cuma satu : mlete, matanya suka nantang. Lalu tiba-tiba kita ketemu di Tiyang Alit. Ah, ternyata watak aslinya nggak jauh nyeleneh.

Tidak tahu mengapa, beberapa hari belakangan kami didekatkan karena percakapan yang tidak pernah saya temui dengan teman perempuan sepantaran lainnya. Diantara perempuan lain ketika bertemu (mungkin) hanya membicarakan tentang isi hatinya yang kemudian disebut curhat atau beberapa hal-hal yang cewek banget, kami malah jarang melakukan hal itu.

Kami berbicara tentang macam-macam. Tentang teori-teori yang kita buat, tentang perilaku seseorang, tentang alam, semesta, buku, karakter, sudut pandang, logika, filsafat, seni, film, menerka apa yang seharusnya tak boleh kami terka, dan macam-macam.

Ketika sesi curhat berjalan, kami sering memecahnya menjadi logika-logika dari sudut pandang kami, lalu menjadi teori baru yang lain. Jika dengan cara itu tidak terpecahkan, maka kami memilih untuk membahasnya kapan-kapan, atau malah akan kami lupakan.

Selera musik kami beberapanya saling berhimpitan. Adalah Banda Neira dan Adhitia Sofyan. Akustik-akustik menye yang diksinya bisa dibuat bahan untuk berdiskusi.

Dia adalah kawan cakap perempuan yang tak pernah saya temukan sebelumnya. Ini yang membuat saya betah ngobrol berjam-jam dengan dia. Karena kegalauan saya telah berakhir dan terbawa sampai ufuk timur terjauh.

Ah, kami tidak selamanya cocok dan saling menghargai dalam berpandangan. Sering di dalam forum rapat masing-masing dari kami malah merasa saling benar padahal salah satu diantaranya ada yang salah. Dan yang salah sebenarnya sadar kalau ia salah. Tapi tetap tak mau mengalah. Namun setelah forum selesai, kekonyolan tetap terjadi seakan permusuhan tadi tidak ada.

Postingan ini tidak dibuat dengan cuma-cuma. Tidak juga dibuat karena mengharap imbalan yang serupa. Atau apa.

Gembeng baru saja berulang tahun seminggu yang lalu. 30 Juni. Saya ingat karena pernah membaca KTPnya. Bukan karena notifikasi Facebook. Dan sampai sekarang saya belum mengucapkan doa-doa yang biasa diucapkan kepada orang yang berulang tahun. Karena saya mempunyai kebiasaan buruk : ingat dan sadar hari ulang tahun seorang kawan, namun lupa mengucapkan.

Tidak ada penyelamatan. Tidak ada perayaan. Tidak ada kejutan.
Hanya ada doa : Semoga tahun depan bisa memperpanjang KTP. Dan begitu seterusnya setiap lima tauhn sekali.
Aamiin.

Amini aja. Kayak gak pernah ngamani doa temen biar nggak jomblo aja. Hehe.

Sunday 6 July 2014

Keinginan yang Lain

Kalau boleh flashback, tahun 2013 kemarin saya dipertemukan dengan banyak orang-orang baru yang benar-benar heterogen. Ceritanya panjang. Mulai dari diberi kesempatan untuk mengikuti workshop Klasik Muda, sampai menjadi bagian dari Surabaya Youth Carnival 2013 sebagai Human Resource.

Dari orang-orang yang saya temui, banyak diantaranya memiliki ketertarikan yang sama : membawa sebuah perubahan kecil untuk Indonesia. Mulai dari volunteerfounder, co founder, yang mengikuti banyak summit, sampai orang yang sering berada di balik mereka semua. Dan alhamdulillah, saya mendapat banyak energi positif dari mereka semua.

Komunitasnya juga tidak kalah. Mulai dari yang bergerak di bidang sosial atau pendidikan, atau di bidang interest. Ada Kelas Inspirasi, Indonesian Youth Motion, Lendabook, GMSI, SCC, dan masih banyak lagi.

Saya mendukung gerakan mereka. Namun, dari keikutsertaan saya terhadap kegiatan mereka, bisa menerangkan kalau saya ini biasa saja terhadap mereka. Saya nyaris tidak pernah ikut serta dalam beberapa program yang mereka jalankan. Bukan tidak tertarik. Namun ada bidang lain yang membuat saya lebih tertarik : seni.

Ada seni memang dalam beberapa program mereka. Namun hanya sebagai pendukung atau penyokong saja. Tidak sebagai pergerakan utama. Saya bisa saja menjadi bagiannya ketika program itu dilaksanakan. Namun tetap saja : "Bukan karena tidak tertarik, melainkan ada bidang lain yang membuat saya lebih tertarik : jika pergerakan utama komunitas tersebut bergerak dalam bidang seni".

Saya suka seni. Sebagai penikmat, tentunya. Juga sebagai orang yang mempelajarinya. Saya suka dengan kesenian tradisional yang beragam di Indonesia. Juga kesenian yang sedang berkembang. Mulai dari ludruk, tari tradisional, ketoprak, wayang, wayang orang, tari kontemporer, lukis, fotografi, musik, sampai teater.

Untuk menikmati dan mempelajari, kecenderungan saya memilih kepada seni pertunjukan seperti tari dan teater. Sedang seni visual seperti lukis, fotografi, musik dan lainnya, saya memilih untuk menikmatinya saja sambil menjadi pengamat amatir. Hehe.

Karena kebanyakan mengamati seni pertunjukan, sering keluar gerakan-gerakan spontan dari tubuh saya. Seperti lambaian gemulai tangan pada tari jawa atau bali, gerakan-gerakan kepala, mendhak, beberapa gerakan pada wayang orang, sampai menirukan beberapa bahasa tubuh yang diciptakan oleh penyaji dalam sebuah seni pertunjukan.

Beberapa kawan saya juga pernah bertanya apakah saya pernah menempuh pendidikan non-formal dalam bidang menari. Tidak. Malah, saya orang yang tidak aktif dalam ekskul sekolah dalam bidang tari. Namun dulu ibu saya seorang penari. Ini bukan bakat yang diturunkan. Melainkan akibat dari saya menjadi pengamat amatir sebuah pertunjukan.

Kadang-kadang, saya memiliki keinginan untuk mempelajari seni tersebut. Bukan dari jalur formal, tentunya. Karena saya ingin mempelajarinya sebagai sarana untuk menghibur diri atau memperkaya ilmu untuk mengolah tubuh. Tapi jika formal adalah jalur yang juga mampu saya tempuh, kenapa tidak?

Saya yakin, orang tua saya tidak akan melarang selama saya tidak melupakan apa saja kewajiban saya sebagai anak, mahasiswa dan perempuan. Tapi, cita-cita dan keinginan tersebut selalu terkendala satu masalah klise : uang.

Baiklah, barangkali saya bisa mengajukan beasiswa atau menabung mulai sekarang. Jika menggunakan beasiswa, saya bahkan tidak memiliki sejarah atau prestasi sama sekali. Tapi jika menabung, waktu yang dikumpulkan tidaklah sebentar.

Atau semesta memilih cara lain? Misalnya, salah seorang teman menawarkan untuk mempelajarinya di sebuah sanggar yang baru saja ia dirikan. Ia hanya butuh massa untuk ia ajar.

Jika saya diperbolehkan bermimpi tentang hal ini, saya ingin diberi kesempatan untuk mempelajarinya (atau mengenalnya) sampai Eropa. Dimana kesenian-kesenian seperti teater, tari kontemporer dan sebagainya lahir. Saya ingin membandingkan dua tari tradisional dari Negara Indonesia dan Benua Eropa.

Lalu umurmu bagaimana? Umur hanyalah sebuah angka. Untuk menipunya, saya sudah mempelajarinya di jurusan Matematika. Hehe, abaikan.

Semoga keinginan ini terpelihara sampai selesainya pelaksanaan.
Semoga semesta mengamini dan mendukung.
Semoga Tuhan mengiyakan.

Aamiin..

Friday 4 July 2014

Penyebab Hari Ini

Kita tidak pernah memilih : peristiwa mana yang harus kita ingat secara cermat, kesalahan-kesalahan yang harusnya jadi pelajaran, orang-orang yang akan sering kita temui, atau apa saja yang semesta inginkan terjadi kepada kita secara tidak sadar.

Tuhan itu satu. Maka kita ini banyak macamnya. Meski tidak mirip secara mutlak, setidaknya, tak hanya aku saja atau kalian saja yang memiliki masa lalu yang sama. Misalnya : menjadi korban bully.

Tuhan menciptakan makhluknya dengan berbagai pola yang sama, dan diletakkan pada pribadi-pribadi yang berbeda secara acak. Ini sebabnya kita akan bertemu dengan berbagai orang yang heterogen, namun beberapa diantaranya memiliki beberapa kesamaan. Entah dua diantaranya, tiga, atau bahkan semuanya.

Bermain dengan karakter adalah suatu hal yang menarik bagi saya. Dalam menulis, saya suka membuat satu karakter baru yang kuat. Dalam berteater, saya suka membedah karakter tokoh-tokoh yang ada dalam naskah. Ini menyebabkan saya suka bertemu dengan orang-orang yang heterogen. Entah hanya untuk observasi, atau hanya berkenalan saja. Yang nantinya akan menjadi bahan karakter baru dalam cerita-cerita saya.

Berkenalan dengan satu karakter itu tidak mudah. Amat tidak mudah.

Misalnya, ketika kita bertemu dengan orang yang selalu melipat tangannya di depan dada tersenyum sekenanya dan obrolan yang pedas ketika ia berkenalan dengan orang yang baru. Kita boleh berpikir macam-macam tentang dia. Negatif atau positif. Tapi dari situ membuat saya bertanya : apa sebab yang membuatnya bersikat seperti itu?

Dalam naskah teater justru lebih mudah. Dicari saja dialog atau bahasa tubuh lainnya yang diberikan oleh penulis dalam naskahnya. Tapi dalam realitas?

Saya yakin, masing-masing dari kita pasti pernah bertemu dengan manusia lainnya dengan karakter yang tidak biasa. Hadapilah, tak perlu mencela, tak perlu dibuat bahan tertawaan dibelakangnya. Dia lebih berani menjadi dirinya sendiri dengan masa lalu yang barangkali kita tak bisa hadapi. Atau malah, masa lalumu akan terkesan biasa saja di matanya.

Karena saya pernah mengalaminya. Saya tahu bagaimana rasanya. Lalu saya pernah mengalami krisis karakter. Untungnya, saya tidak bisa menjadi orang yang bukan saya. Ini membuat saya paham kalau  sifat seseorang atau sikap yang ia lakukan hari ini adalah akibat dari kejadian-kejadian yang menimpanya secara berkala di masa lalu, dan apa saja yang kita terima secara tidak sadar pada hari ini secara terus-menerus akan menjadi sebab bagaimana sikap dan sifat kita nantinya.

Kita tidak pernah memilih : peristiwa mana yang harus kita ingat secara cermat, kesalahan-kesalahan yang harusnya jadi pelajaran, orang-orang yang akan sering kita temui, atau apa saja yang semesta inginkan terjadi kepada kita secara tidak sadar.


Karena Tuhan memiliki pola-Nya.

Sunday 22 June 2014

Zetra

Zetra, anggap saja kita pernah berkenalan sebelumnya. Anggap saja kau adalah seorang kawan yang lama kukenal. Bukan sebuah karakter yang namanya kucomot dari internet, lalu kutambahkan beberapa karakter favoritku. Anggap saja kau adalah sebagian hidup yang ada begitu saja, tidak berarti apa-apa, apalagi begitu berharga.

*

Begini.

Aku mengagumimu semenjak mengenalmu dari sebuah percakapan tentang langit pada hari itu. Setelah nama dari masing-masing kita disebutkan, kau langsung saja mengenalkan padaku bagaimana ritme hidupmu.

“Dari dua puluh empat jam, aku hanya sempatkan pukul lima sampai pukul enam sore untuk berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa. Selain pada pukul itu, semuanya harus tertata dengan sempurna.”

Hanya karena dalam hari-hari sebelumnya kita selalu bertemu di tempat yang sama. Seperti kita berkenalan lewat apa yang kita lakukan di tempat yang sama, sebelum akhirnya mengenalmu dalam sebuah nama. Zetra Kyanofaruq.

Kau tidak pernah tergesa untuk datang pada pukul lima, dan meninggalkan tempat pada pukul enam dengan tenang. Padahal sebetulnya kau tidak betul-betul untuk tidak melakukan apa-apa, kan? Pada satu jam itu, dalam perhatianku sebelum kita bertukar nama, kau selalu mengeluarkan buku gambar dan pensil. Lalu menggambar. Atau jika tidak, bola matamu berputar seolah sedang berpikir atau sedang mengingat sesuatu.

Setelah sebulan mengenalmu, baru saja kutahu bagaimana ritme hidupmu berlangsung. Tubuhmu seakan dirancang untuk tidak bisa berhenti. Ritme hidupmu cepat. Kau tidak mengenal kata terlambat. Semua hal yang berkaitan denganmu tidak boleh secara tergesa apalagi spontan. Semuanya harus tertata atas kendalimu. Kau perhatikan hal kecil. Kau rancang semua plan A hingga plan Z.

Tempat tinggalmu, contohnya. Kau pilih kost yang satu arah dengan fotokopi, tempat makan yang sehat, bengkel, warnet, dan minimarket. Sehingga kau dapat melakukan banyak pekerjaan dalam satu kali jalan. Di tempat kost, kau memilih kamar yang dekat dengan pagar kost agar tak begitu banyak waktu kau habiskan untuk berjalan dari kamar kost sampai pagar. Ah, kau bahkan memakai alasan enggan bercakap dan berinteraksi dengan tetangga kamar agar tak menyendat waktumu.

Teorimu : “Semakin banyak teman semakin dapat buatku terhambat.”

Kau robot macam apa?


Namun tetap saja aku mengagumi bagaimana kau hidup dengan ritme hidup yang cepat. Tidak ada toleransi pada satu detik. Bisa ajari aku untuk beberapa semester kedepan?

Monday 9 June 2014

Berbicara Sedikit Tentang Aktor

Pertama kali melihat John Watson pada serial TV Sherlock Holmes, yang membuat aku tertarik untuk menerka siapa dia adalah dari caranya menggerakkan tangan ketika sedang akan berpikir sebelum membuat sebuah keputusan. Sedikit meremas salah satu telapak tangannya, memainkan sedikit bibirnya, dan kedikan kepalanya. Familiar. Membuatku menduga bahwa ia adalah aktor yang sama yang memerankan Bilbo Baggins di film The Hobbits.

Martin Freeman. Setelah memastikan di IMDb. Ternyata mereka adalah benar orang yang sama.

Kedua, adalah ketika iseng melihat video-video mime(pantomim) di laptop Rengga dengan seorang kawan yang lainnya, Bowo. Aku bagian melihat saja. Tidak memilihkan video mana yang akan dilihat. Bowo memainkan video ini :



Yang menarik bagiku adalah gerakan pemeran utama (sang mime) pada detik ke 30-40 berupa caranya mengedikkan kepala dan menggerakkan mulutnya ketika berpikir. Membuatku ingin menerka kalau ia adalah orang yang sama di serial TV Sherlock Holmes. Pemeran John Watson, tentunya. Artinya, adalah orang yang sama dengan orang yang memerankan Bilbo Baggins.

Martin Freeman. Benar, ternyata. Aku memastikan di credit tittle nya.

Aku bahagia ketika dapat menerka seorang aktor dari bahasa tubuhnya. Seperti Martin Freeman ini. Ia memerankan tiga tokoh yang berbeda. Yang jelas-jelas aku tidak menerkanya dari wajah. Karena ia memerankan tiga tokoh dengan make-up yang berbeda. Bilbo Baggins dengan make-up fantasi menjadi seorang Hobbit, John Watson dengan make-up realis, dan seorang mime dengan make-up mime.

Tiga karakter berbeda, dengan make-up yang jelas-jelas berbeda, namun sang aktor membawakan dengan beberapa bahasa tubuh yang sama. Aku menemukannya di dua aktor monolog di Tiyang Alit. Mas Tile yang memerankan tokoh dalam naskah monolog Arkeologi Beha dan Black Jack memiliki karakter ‘Mas Tile’ yang sama. Inyong yang memerankan tokoh dalam naskah monolog Prodo Imitatio dan Bangsat juga memiliki karakter ‘Inyong’ yang sama pula. Aku tak bisa menjelaskan disini kalau kalian sendiri tidak mengamatinya.

Jika seorang aktor memerankan beberapa tokoh dengan karakter yang berbeda, namun terletak banyak perbedaan bahasa tubuh, dan aku tidak dapat menerka jika mereka adalah aktor yang sama, aku berpendapat ia memiliki keaktoran yang luar biasa.

Seperti aku menemukannya pada diri Johnny Depp. Sepanjang pengetahuanku, ia menjadi pemeran utama dalam film Pirates of the Caribbean sebagai Jack Sparrow, Charlie and the Chocolate Factory sebagai Willy Wonka, Alice in the Wonderland sebagai Hatters, Finding Neverland sebagai Sir James Matthew Barrie, dan beberapa film lainnya. Asyiknya, aku tak menemukan kesamaan karakter ‘Johnny Depp’.

Ah, barangkali aku belum saja menemukan kelemahan Johnny Depp dalam membawakan sebuah karakter. Seperti Martin Freeman dan Jim Sturgess. Aku telah menemukan beberapa bahasa tubuh yang sama dari mereka. Hihi.

Sunday 1 June 2014

Hai, Juni

Ah, klise sekali jika paragraf pertama aku mambahas tentang tidak terurusnya blogku ini. Aku tidak rindu menulis. Sesungguhnya, aku selalu menulis. FYI, menulis dengan tangan itu menyenangkan. Daripada dengan keyboard dan laptop. Ah, beberapa dari kalian pasti tahu bagaimana merdunya pena yang bergesek dengan kertas, dan aromanya yang harum.

Baru saja tertantang untuk bermain FCT lagi. Kali ini dengan ritme berbeda. Jika FCTku dulu satu cerita selesai dalam satu hari. Jika tidak, maka akan menjadi sebuah hutang untuk hari berikutnya. Kali ini tidak. Satu cerita barangkali akan selesai dalam satu minggu. 

Tidak, bukan hanya satu. Melainkan dua.

Satu akan ku-post disini, satunya akan kupost di tumblrku. Agar tumblrku juga dapat dibaca. Dua cerita yang berbeda, tentunya. Namun memiliki tema dan judul yang sama. Sepertinya asyik. Untuk meletakkan perbedaannya, barangkali aku akan menjelaskan setelah dua - tiga paket FCT selesai. Barangkali juga ketika itu semesta akan paham.

Baiklah, sebagai bocoran, sila buka tumblrku di rahamnita.tumblr.com

Jadi, siapa yang ikut denganku?