Image Source : Google |
Alasan saya membeli buku ini? Sebetulnya sederhana. Tapi detilnya agak rumit. Begini :
Senin tanggal 14 lalu, saya berputar-putar sebentar di Gramedia Tunjungan Plaza untuk menunggu janjian sama kawan menonton bioskop. Tiba-tiba saja sebuah judul buku menarik perhatian saya. DILAN : Dia adalah Dilanku tahun 1990. Pengarangnya Pidi Baiq.
Saya teriak histeris tapi berbisik seperti menggumam. Seperti menemukan buku yang telah lama dicari. Padahal, saya baru tahu buku itu hari itu juga. Lantas, kenapa saya histeris?
1. 1990. Saya selalu berharap menjadi remaja tahun 90an. Atau setidaknya dapat jodoh yang tumbuh di era 90an (tua ya hehe).
2. Pidi Baiq. Saya bukan fans amatirnya. Apalagi fanatik. Tapi saya ingat postingan tumblrnya yang beberapanya selalu bikin saya heran dengan sudut pikirnya.
Iya itu saja. Lalu saya punya cita-cita untuk memilikinya. Cover, sinopsis, tetek bengek di belakang buku sama sekali bukan pengaruh utama untuk memiliki cita-cita seperti itu. Sederhana ya? Hehe
Tapi sayangnya, saya harus sedikit urung. Klise : uang yang saya bawa nggak cukup.
Hari Rabu, tiba-tiba iseng untuk pergi ke toko buku diskon dekat rumah. Ingin beli Dunia Sophie kalau masih ada. Sekalian ngecek apa ada novel yang saya cita-citakan untuk dimiliki tersebut. Ternyata ada. Tapi sayangnya, saya harus urung lagi. Uangnya nggak cukup.
Hari Jum'atnya, setelah bahagia karena telah menemukan Cutting Mat dan Pen Cutter yang sedang diidam-idamkan selama setengah tahun belakangan dan dapat diskon sepuluh persen (hehe), motor saya belokkan ke toko buku murah yang Rabu kemarin saya kunjungi. Hari itu kebahagiaanku melimpah ruah. Cita-citaku kesampaian!
Hehe.
Baru saja kemarin, sambil menunggu sahur (liburan, saya nokturnal. Kata ibu, saya ini Kalong. Anak Kelelawar), saya buka bungkus Dilan. Dan saya jatuh cinta ketika aku (Milea) bercerita tentang bahasa yang digunakan Dilan : sedikit melayu dan baku. Lalu saya ingat Zetra Kyanofaruq dan Ananda Badudu.
Berlembar-lembar ditelan mata karena diksinya yang ringan, lalu ketiduran di halaman 200. Dan kulahap sisanya ketika beli kebab dan menemani kawanku pergi bimbingan Kerja Praktek.
Ini Teenlit. Tapi pakai setting tahun 1990. Nggak ada mol, handphone, internet, drama yang berlebihan, si cantik nan modis dan si cupu yang ndeso, dan sebagainya a la teenlit-teenlit era sekarang.
Pertemuan mereka sederhana. Plotnya amat klise. Diksinya biasa saja, tidak banyak narasi. Settingnya itu-itu saja. Dramaturginya apalagi. Hehe.
Tapi saya bisa jatuh cinta. Kluget-kluget (gerakan ulat dalam bahasa jawa) sendiri karena melting, tertawa lepas sendiri, dan tersenyum sendiri. Ya Tuhan, saya jatuh cinta sama Dilan! Sampai-sampai saya enggan meminjamkan buku ini kepada siapapun. Agar yang jatuh cinta sama Dilan saya saja.
Pidi Baiq berhasil membuat saya jatuh cinta kepada Dilan karena karakternya yang lugas, sederhana, manis, menyenangkan, spontan, memiliki sudut pandang yang berbeda, dan pasti membuat jatuh cinta gadis remaja, wanita yang ingin menjadi gadis remaja, sampai perempuan yang mengingat dirinya pernah menjadi gadis remaja.
Apalagi ia menyuguhkan set SMA. Masa yang paling didambakan terulang kembali. Dan tiba-tiba saya teringat dengan Ada Apa Dengan Cinta. Dilan adalah Rangga dengan karakter yang bertolak belakang. Namun keduanya dapat membuat perempuan seperti saya kluget-kluget.
Untuk lebih penasaran, bacalah komentar-komentar pembaca yang lain di goodreads. Ini linknya. Tinggal klik kanan - open in new tab. Tak perlu buka google. Komentar-komentarnya juga mewakili saya banget.
Sudah saya bilang, ini bukan resensi. Semoga saja bukan bukan spoiler.
Ratingnya? 4,5 dari 5. Setengahnya karena kejadian-kejadian yamg membuat Milea penasaran dan saya ikut penasaran nggak dijawab di halaman selanjutnya.
No comments:
Post a Comment