Monday 11 August 2014

Membaca Bekisar Merah oleh Ahmad Tohari

Aku punya kawan. Namanya Ikal. Sekampus beda jurusan. Bacaan kita sama: novel-novel lama, novel-novel sastra terbitan Balai Pustaka, dan semacamnya yang seringkali aku amat jarang menemukan orang yang punya selera tua yang sama. Aku maklum dengan diriku. Karena aku memang anak muda salah era (kapan-kapan kuceritakan akan hal ini).

Dari dia aku merasa kecil. Jaman dia SMA, bacaannya sudah novel sastra terbitan Balai Pustaka. Aku: novel teenlit yang digilir di kelas. Dari dia juga aku dapat eBook novel tahun 80an (cmiiw) Cintaku di Kampus Biru oleh Ashadi Siregar berikut triloginya. Dan eBook tersebut aku print ke kertas novel, lalu akan kujilid. Sayangnya karena printer rusak, maka aku urung. Dia juga mengusulkan beberapa nama yang harus aku baca karyanya. Salah satunya karya Ahmad Tohari.

Aku sempat browsing film yang bagus di Indonesia. Salah satunya adalah Sang Penari. Penasaran, aku lihat di Youtube. Sebelumnya aku sudah tahu kalau Sang Penari adalah bentuk adaptasi novel dari Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Tertarik dengan ceritanya, aku baca review-review yang ditulis terhadap film tersebut. Lalu bukunya. Ternyata, Ronggeng Dukuh Paruk memiliki trilogi yaitu: Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala.

Ketika itu aku baru ingat kalau Hestia, kawanku yang berkuliah di Ilmu Perpustakaan, pernah mengusulkan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ketika mengerti sedang belajar sastra. Buka goodreads, ternyata mereka memiliki eBook dari ketiga trilogi tersebut. Aku download ketiganya. Baru terbaca lima halaman di buku pertama, file yang aku simpan di flashdisk tersebut di-format oleh adikku.

Sabtu kemarin, aku mengiyakan ajakan saudaraku, Nanda, untuk mencari binder yang sesuai dengan keinginannya di beberapa toko buku terdekat. Di Petra Togamas, ia tak menemukan barang yang sesuai dengan keinginannya. Namun aku menemukan cita-citaku : Ronggeng Dukuh Paruk cover film. Fyi, novel dengan cover film ini di dalamnya berisi ketiga trilogi yang sebelumnya dijual dalam keadaan terpisah. Aku menimangnya. Tapi tak kubeli. Klise saja : uangku tak cukup.

Di Gramedia Expo, Nanda menemukan benda yang ia inginkan. Mirip dengan apa yang benar-benar ia inginkan. Namun aku tak melirik satu novel pun di sana. Setelahnya, motor ku arahkan ke Toko Buku Murah Online. Namanya saja yang ‘online’. Disana aku kembali menemukan buku Ronggeng Dukuh Paruk. Tetap saja tak kubeli. Selain uangku tak cukup, plastik segelnya terbuka setengah.

Namun aku melirik Di Kaki Bukit Cibalak yang harganya pas dengan uang yang kubawa. Tapi pilihan jatuh kepada Bekisar Merah. Jika ditanya kenapa, aku jawab saja berjodoh. Meski harganya agak menyembul dari nominal yang aku bawa, akhirnya dengan meminjam uang lima ribu dari Nanda, aku berhasil membawanya dalam pelukan.

Hari ini baru masuk bab tiga, halaman 75. Dan baru kali ini aku menandai halaman dengan sticky notes transparan warna-warni sebagai penunjuk adegan yang menarik, nasihat, kalimat, fakta yang menjadi pertanyaan, dan sebuah tembang yang dinyanyikan oleh Eyang Mus. Sensasinya luar biasa. Karena aku biasa memakai sticky notes dengan ukuran besar yang kutempelkan di pembatas sebagai catatan jika menemukan kosakata baru. Tak pernah menandai beberapa hal yang menarik dengan penanda tertentu. Jika ingin membacanya lagi, maka aku mencari halamannya.

Ada nasihat berupa bagaimana cara agar suami tidak marah ketika kaki tempat tidurnya telah dibakar untuk memanasi tungku, sampai tentang tanah sebagai sumber kehidupan untuk anak cucu meski luasnya hanya secuil. Dan banyak lagi yang harus kau baca sendiri.

Membaca Bekisar Merah yang dilanjutkan dwiloginya yang masih dalam satu buku, Belantik, dapat membuat bahagia. Tunggu saja resensi dari saya ya. Anggap saja ini Pre-Resensi.



ps: aku belum menyelesaikan Larung oleh Ayu Utami. Novel tersebut sudah kelangkahan berapa novel ya hehe

No comments:

Post a Comment