Aku punya kawan. Namanya Ikal. Sekampus beda jurusan. Bacaan
kita sama: novel-novel lama, novel-novel sastra terbitan Balai Pustaka, dan
semacamnya yang seringkali aku amat jarang menemukan orang yang punya selera
tua yang sama. Aku maklum dengan diriku. Karena aku memang anak muda salah era
(kapan-kapan kuceritakan akan hal ini).
Dari dia aku merasa kecil. Jaman dia SMA, bacaannya sudah novel
sastra terbitan Balai Pustaka. Aku: novel teenlit yang digilir di kelas. Dari
dia juga aku dapat eBook novel tahun 80an (cmiiw) Cintaku di Kampus Biru oleh
Ashadi Siregar berikut triloginya. Dan eBook tersebut aku print ke kertas
novel, lalu akan kujilid. Sayangnya karena printer rusak, maka aku urung. Dia
juga mengusulkan beberapa nama yang harus aku baca karyanya. Salah satunya
karya Ahmad Tohari.
Aku sempat browsing film yang bagus di Indonesia. Salah
satunya adalah Sang Penari. Penasaran, aku lihat di Youtube. Sebelumnya aku
sudah tahu kalau Sang Penari adalah bentuk adaptasi novel dari Ahmad Tohari
yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Tertarik dengan ceritanya, aku baca
review-review yang ditulis terhadap film tersebut. Lalu bukunya. Ternyata, Ronggeng
Dukuh Paruk memiliki trilogi yaitu: Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera
Bianglala.
Ketika itu aku baru ingat kalau Hestia, kawanku yang
berkuliah di Ilmu Perpustakaan, pernah mengusulkan Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari ketika mengerti sedang belajar sastra. Buka goodreads, ternyata
mereka memiliki eBook dari ketiga trilogi tersebut. Aku download ketiganya.
Baru terbaca lima halaman di buku pertama, file yang aku simpan di flashdisk
tersebut di-format oleh adikku.
Sabtu kemarin, aku mengiyakan ajakan saudaraku, Nanda, untuk
mencari binder yang sesuai dengan keinginannya di beberapa toko buku terdekat.
Di Petra Togamas, ia tak menemukan barang yang sesuai dengan keinginannya.
Namun aku menemukan cita-citaku : Ronggeng Dukuh Paruk cover film. Fyi, novel
dengan cover film ini di dalamnya berisi ketiga trilogi yang sebelumnya dijual
dalam keadaan terpisah. Aku menimangnya. Tapi tak kubeli. Klise saja : uangku
tak cukup.
Di Gramedia Expo, Nanda menemukan benda yang ia inginkan.
Mirip dengan apa yang benar-benar ia inginkan. Namun aku tak melirik satu novel
pun di sana. Setelahnya, motor ku arahkan ke Toko Buku Murah Online. Namanya
saja yang ‘online’. Disana aku kembali menemukan buku Ronggeng Dukuh Paruk.
Tetap saja tak kubeli. Selain uangku tak cukup, plastik segelnya terbuka
setengah.
Namun aku melirik Di Kaki Bukit Cibalak yang harganya pas
dengan uang yang kubawa. Tapi pilihan jatuh kepada Bekisar Merah. Jika ditanya
kenapa, aku jawab saja berjodoh. Meski harganya agak menyembul dari nominal
yang aku bawa, akhirnya dengan meminjam uang lima ribu dari Nanda, aku berhasil
membawanya dalam pelukan.
Hari ini baru masuk bab tiga, halaman 75. Dan baru kali ini
aku menandai halaman dengan sticky notes transparan warna-warni sebagai
penunjuk adegan yang menarik, nasihat, kalimat, fakta yang menjadi pertanyaan,
dan sebuah tembang yang dinyanyikan oleh Eyang Mus. Sensasinya luar biasa.
Karena aku biasa memakai sticky notes dengan ukuran besar yang kutempelkan di
pembatas sebagai catatan jika menemukan kosakata baru. Tak pernah menandai
beberapa hal yang menarik dengan penanda tertentu. Jika ingin membacanya lagi,
maka aku mencari halamannya.
Ada nasihat berupa bagaimana cara agar suami tidak marah
ketika kaki tempat tidurnya telah dibakar untuk memanasi tungku, sampai tentang
tanah sebagai sumber kehidupan untuk anak cucu meski luasnya hanya secuil. Dan
banyak lagi yang harus kau baca sendiri.
Membaca Bekisar Merah yang dilanjutkan dwiloginya yang masih
dalam satu buku, Belantik, dapat membuat bahagia. Tunggu saja resensi dari saya
ya. Anggap saja ini Pre-Resensi.
ps: aku belum menyelesaikan Larung oleh Ayu Utami. Novel
tersebut sudah kelangkahan berapa novel ya hehe
No comments:
Post a Comment