Sunday 27 January 2013

FCT : Komunikasi Hati


Perempuan itu memangdangku lewat bingkai kaca matanya yang berwarna hitam kecoklatan. Isi bingkainya bulat, berputar-putar mirip bumi. Dalam setiap kedipannya, tertera jelas kalau ia selalu menyebut beberapa nama Tuhan dalam sebuah doa. Ia memejamkan matanya, seperti menolak untuk memandang mata lain selain mata-mata dalam sela huruf kecil yang berbaris minta dimakan oleh matanya.

Tatapannya kembali tenggelam dalam bukunya. Namun tak lama, setelah―sepertinya―menelan satu kalimat pada paragraf pertama, ia menutup bukunya. Jemarinya meraba-raba tekstur sampul buku. Seperti sidik jarinya memang butuh berkenalan dengan sampul buku yang―sepertinya―baru dibeli.


Tiap jilid diraba, tiap mili berkenalan dengan sidik jarinya. Ujung-ujung buku, lem yang mencuat di bagian jilidannya, sisi sampul yang sedikit rusak sehabis masuk tasnya, dan terakhir, tekstur kertas yang ada di dalamnya. Diraba satu-persatu, lembar demi lembar, halaman demi halaman. Seperti takut bukunya terkena cacat.

Ia kembali memejamkan matanya, namun kali ini pada tengah halaman. Dan kulihat, ia sedang menghirup hebat-hebat bau kertas cetakan yang baru keluar dari percetakan. Kelopak matanya menyelimuti kata nikmat yang tertata di kedua bola mata yang sengaja disimpannya sendiri.

Alas cangkir kopi pesanannya―sepertinya―mampu membuka matanya terbuka dan meletakkan bukunya, menghentikan perilaku anehnya. Kemudian terseyum kepada pelayan kafe berucap ‘Terima Kasih’ sambil meraih pegangan cangkir kopinya. Namun, ia kembali memejamkan matanya dan menghirup hebat-hebat kopinya yang belum ia bubuhi gula.

Tanpa membuat kopi dalam cangkir tersebut sedikit lebih dingin agar lebih ramah dengan lidahnya, tanpa berkomentar apa-apa dan tetap memejamkan matanya, ia menyeruput pelan kopinya. Seperti dia saja yang mampu dan cukup rasa, tak bisa ungkap. Selebihnya, orang lain tak boleh tahu.

Setelah―sepertinya―memberi kesempatan kepada lidahnya untuk berinteraksi dengan kopi yang baru saja diminumnya, ia membuka matanya, meletakka semua yang ia lakukan. Diam, mengaitkan kedua tangannya, menopang dagunya, dan kembali memejamkan matanya. Musik lawas yang sepertinya ia kenal memenuhi ujung-ujung ruang dengarnya. Ujung bibirnya seakan mencaci pada tengah lagu.

Senyummu masih menawan, cerita cinta masih akan datang.
Disana kau berdiri, dalam bayang kelabu. Mengharapkan ia kembali.
Namun kau kan sadari, segera atau nanti, semua tinggal indah kenangan.

Lagu usai, dan matanya rerbuka lebar. Kali ini menelusuri ujung-ujung interior kafe. Oh, jangan paksa aku untuk jatuh cinta kepadamu, karena aku tak punya cukup kata untuk beri alasannya.

*

Jangan bilang aku tak akan pernah jatuh cinta kalau aku tak cukup tahan menatapmu lewat bingkai ini. Dan ya, aku tak cukup lebih lama menatapmu seperti ini. Asal kau tahu, setiap kedipnya merupakan permohonan semoga kau dapat tahu.

Ini buku pertama yang kubeli dalam bulan ini. Meski ini akhir bulan, tapi aku tak bisa tahan untuk membeli buku. Dan aku tak pernah tidak jatuh cinta kepada kalimat pertamanya dalam sebuah buku. Maka, nyaris semua buku yang baru kubeli, kubaca kalimat pertamanya saja, agar aku merasakan jatuh cinta terlebih dahulu sebelum akhirnya melahap kalimat setelahnya sampai habis.

Tapi, bagaimana kau bisa jatuh cinta pada kalimat pertama sebuah buku kalau kau tak lebih dulu jatuh cinta kepada sampulnya? ‘Judge the book by it cover’. Apakah toko buku memajang isi buku yang ia jual? Sampul inilah pahlawannya. Jilidannya yang sedikit tidak rapi, kalimat-kalimat yang tertera pada back covernya, sudut-sudut buku yang seharusnya dibuat melengkung agar lapisan lainnya tidak rusak. Semuanya pantas diraba, termasuk tekstur kertasnya.

Aroma tinta yang tercetak di barisan kertas kasar dan aroma kertasnya. Seperti kau tak akan jatuh cinta lebih dalam sebelum kau akhirnya tahu bagaimana aroma tubuh yang dikenakannya tiap pagi. Kalau mengira aku membuka mataku karena langkah sepatu pelayan kafe yang mendekat ke mejaku, atau pantat cangkir yang beradu dengan alasnya karena baru saja diletakkan di meja kayu di depanku, kau salah. Aku begitu kuat merasakan aroma kopi yang mengarah kepadaku.

Aku tak pernah suka meniup kopi untuk menjadi lebih dingin. Karena meniup kopi yang panas adalah kesalahan besar. Pertama, gas CO2 yang keluar dari mulut tak baik untuk kopi, karena akan mengacaukan kafein yang ada di dalamnya. Kedua, meminum kopi dalam keadaan dingin adalah kenikmatan yang bodoh. Kuhirup hebat-hebat aroma kopinya, dan kutiup permukaan luar cangkirku.

Sinikini – Dan Senyumlah. Lagu tua paling keren sepanjang masa dalam telingaku. Kunikmati dalam diam, sambil memejamkan mata, agar orang lain tidak tahu ini lagu indah seperti apa, dan supaya aku sendiri saja yang selamanya jatuh cinta dengan lagu ini. Aku tak mau membuat orang lain jatuh cinta kepada lagu ini. Tapi kalau lagu ini membuat orang lain lebih jatuh cinta, aku akan lebih bahagia.

Kepada udara dan semesta yang tak cukup ku raih yang menyelubungi ujung-ujung ruangan ini, kutitipkan bisikan padanya, kepada lelaki yang sedari tadi memandangiku, aku jatuh cinta, dan aku perempuan paling hidup yang belum pernah ia temui.

*Surabaya, Aiola Eatery. Jl Slamet no 16. 28-12-12. 09.23pm

ps : kita tidak akan pernah tahu kalau kita tidak bicara, kan? :)

No comments:

Post a Comment