Judul : Bekisar Merah
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013
Cetakan : Cetakan Kedua, Maret 2013 (Cover Baru)
Jumlah Halaman : 360 Halaman
SINOPSIS
Bekisar adalah unggas elok hasil kawin silang antara ayam hutan dan ayam biasa yang sering menjadi hiasan rumah orang-orang kaya. Dan, adalah Lasi, anak desa berayah bekas serdadu Jepang yang memiliki kecantikan khas---kulit putih, mata eksotis---membawa dirinya menjadi bekisar di kehidupan megah seorang lelaki kaya di Jakarta, melalui bisnis berahi kalangan atas yang tak disadarinya.
Lasi mencoba menikmati kemewahan itu, dan rela membayarnya dengan kesetiaan penuh pada Pak Han, suami tua yang sudah lemah. Namun Lasi gagap ketika nilai perkawinannya dengan Pak Han hanya sebuah keisengan, main-main.
Hanya main-main, longgar, dan bagi Lasi sangat ganjil. karena tanpa persetujuannya, Pak Han menceraikannya dan menyerahkannya kepada Bambung, seorang belantik kekuasaan di negeri ini yang memang sudah menyukai Lasi sejak pertama melihat wanita itu bersama Handarbeni. Lasi kembali hidup di tengah kemewahan yang datang serbamudah, namun sama sekali tak dipahaminya. Apalagi kemudian ia terseret kehidupan sang belantik kekuasaan dalam berurusan dengan penguasa-penguasa negeri.
Di tengah kebingungannuya itulah Lasi bertemu dengan cinta lamanya di desa, Kanjat, yang kini sudah berprofesi dosen. Merea kabur bersama, bahkan Lasi lalu menikah siri dengannya. Nmaun kaki-tangan Bambung berhasil menemukan mereka dan menyeret Lasi kembali ke Jakarta,. Berhasilah Kanjat membela cintanya, dan kembali merebut Lasi yang sedang mengandung buah kasih mereka?
**
Sebelum saya membaca Bekisar Merah, saya telah membaca
e-Book dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak. Meski hanya sampai
3 halaman saja, setidaknya saya sudah berkenalan dengan gaya bahasa Ahmad Tohari
yang ringan, lugas, dan sederhana.
Buku ini diawali dengan segala detil suasana desa Karangsoga
ketika hujan sedang turun. Cara penulis membawa suasana tersebut dengan cara
menceritakan satu detil kejadian kecil dalam suasana tersebut, lalu loncat ke
deskripsi suasana kecil yang lainnya, hingga akhirnya meruncing tentang salah
satu tokoh yang bernama Darsa sebagai penyadap nira.
Cerita begitu mengalir dengan deskripsi dan narasi yang
begitu detil namun sederhana. Apalagi penulis selalu menceritakan keadaan desa
Karangsoga secara terperinci dan detil. Membuat saya, atau bahkan perantau yang
penat dengan kesibukan kota ingin segera kembali ke desa untuk sekadar pulang,
berlibur, atau menikmati suasana dan udara yang tak dapat mereka beli di kota.
Saya rindu Trenggalek.
Karena ketika menulis saya selalu mengedepankan deskripsi
dan narasi, maka tulisan Ahmad Tohari patut diacungi jempol dan dapat dijadikan
contoh dalam membuat deskripsi dan narasi yang detil, ringan, dan mampu membawa
imajinasi pembaca.
Banyak nilai tambah yang terkandung dalam buku ini. Nasihat-nasihat
jawa, tembang-tembang jawa buatan Eyang Mus, quote yang menggunakan bahasa jawa
lalu diartikan ke bahasa Indonesia, kritikan kepada mahasiswa, pandangan
penulis terhadap kejadian yang terjadi di permukaan masyarakat yang diolah
dalam bentuk percakapan atau narasi, dan sebagainya.
Saya sendiri membaca kurang lebih empat poin yang saya tulis
berdasarkan pendangan saya dari buku ini.
- Lasi adalah perempuan berdarah setengah Jepang. Di
desa tempat ia lahir, tumbuh, besar, dan menikah, Karangsoga, keberadaannya
kerap menjadi olok-olok bagi kawannya
ketika kecil karena memiliki ciri khas tubuh yang berbeda dengan lainnya: kulitnya yang putih bersih
dan matanya yang khas. Setelah ia dewasa, ia pun menjadi bulan-bulanan warga
desa Karangsoga, seperti karena tak kunjung menikah, setelah menikah tak kunjung
punya anak, sampai dihianati suaminya. Namun, ketika kakinya menginjak kota
Jakarta, ia seperti barang berharga yang diagung-agungkan oleh beberapa pihak
sehingga karena kenaifannya, ia menjadi objek bisnis berahi kalangan elite.
- Dikutip dari percakapan Kanjat dan dosen
pembimbing skripsinya, Doktor Jirem : “Keterpihakanmu terhadap masyarakat
penyadap, saya kira, merupakan manifestasi perasaan utang budi dan terima
kasihmu kepada mereka yang telag sekian lama memberikan subsidi kepadamu. Ini bukan
sebuah dosa ilmiah. Jat, kamu tahu, sudah
terlalu banyak kaum sarjana seperti kita yang telah kehilangan rasa terima
kasih kepada “ibu” yang membesarkan kita. Mungkin karena, ya itu, mereka
seperti kamu, takut dibilang sok moralis. Mereka lebih suka memilih hanyut
dalam arus kecenderungan pragmatis. Agakanya mereka lupa bahwa dari segi-segi
tertentu pragmatisme menjadi benar-benar amoral. Jadi mereka jadi amoral karena
takut dibilang moralis.
Maka banyak sarjana seperti kita lupa, atau pura-pura lupa bahwa misalnya, guru yang mendidik mereka dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi digaji oleh masyarakat; bahwa sarana pendidikan yang mereka pakai dari gedung sekolah sampai laboratorium juga dibiayai dengan pajak orang banyak. Mereka lupakan ini semua sehingga status yang mereka peroleh dari sesarjanaan mereka hampir tak punya fungsi sosial. Mereka sekana merasa bahwa status kesarjanaan yang mereka peroleh semata-mata merupakan prestasi pribadi karenanya hanya punya fungsi individual.
Jat, dengan demikian amat banyak sarjana seperti kita yang kehilangan keanggunan di mata masyarakat yang telah membesarkan kita. Mereka tak bisa berterima kasih dan membalas budi. Maka jangan heran bila masyarakat telah kehilangan banyak kepercayaan dan harapan atas diri orang-orang seperti kita.”
Sebagai mahasiswa, membaca kalimat-kalimat Doktor Jirem seperti ditampar oleh dosen yang menjadi panutan dan saya hormati. Sakit, mengena, dan membuat saya sadar kalau saya mahasiswa yang belum melakukan apa-apa untuk Indonesia. - Berkaitan dengan poin sebelumnya. Pak Tir
barangkali ia adalah sebagai wakil atau simbol dari masyarakat pada umumnya. Menyekolahkan
anaknya, Kanjat, sampai ke perguruan tinggi dan tidak tahu apa itu makna dari
Tri Dharma Perguruan Tinggi (TDPT), berpikiran bahwa sarjana yang telah lulus ‘harusnya’
bekerja, berlomba-lomba menjadi Pegawai Negeri, bergaji banyak, lalu makmur.
Pak Tir sendiri tidak tahu jika ada yang harusnya ‘dikembalikan’ kepada rakyat.
- Allah SWT menghadiahkan satu bulan istimewa dalam satu tahun yang mana lebih istimewa dari seribu bulan: Bulan Ramadhan. Dalam kesusahan hidup masyarakat Karangsoga, mereka lantas amat bersyukur atas datangnya bulan yang penuh berkah tersebut. Dimana ketika kebutuhan gula naik, sehingga penyadap nira di Karangsoga mendapatkan nilai jual lebih besar dan mahal dari gula yang dibuatnya. Fakta ini menyebabkan kehidupan di Karangsoga makmur dalam kurun waktu satu bulan. Dalam hal ini penulis mampu menceritakan suka cita yang meruah yang saya sendiri dapat merasakan kegembiraannya. Apalagi ditambah tembang milik Eyang Mus:
Dina Bakda uwis leren nggone pasa
Padha ariaya seneng-seneng ati rag
Nyandhang anyar sarta ngepung sega punar
Bingar-bingar mangan enak nganti meklar
Di hari Lebaran sudah kita purnakan puasa
Kita berhari raya , bersenang jiwa dan raga
Berbusana baru, menyantap nasi pulen
Riang gembira santap enak hingga perut
Kenyang benar
Sebetulnya ada banyak poin yang menarik untuk dibahas. Tapi
hanya empat poin di atas yang membuat saya berhenti membaca, berpikir, dan
bernapas dalam karena ikut memikirkan dan merasakan apa yang dituliskan
penulis.
Sebagai orang jawa, penulis sering memasukkan kalimat-kalimat
dan frasa-frasa yang berbahasa jawa, seperti yang saya jelaskan di atas. Meski
diberi keterangan berupa bahasa Indonesia, tetap saja bagi saya yang notabene
juga berdararah Jawa, pembawaan bahasanya akan terasa berbeda. Ini menjadi
nilai tambah yang juga sekaligus menjadi nilai kurang untuk mereka yang tidak
mengerti bahasa jawa ketika keterangan bahasa indonesianya tidak dimunculkan.
Dari segi penokohan, penulis cukup mampu menyajikan karakter
yang kuat. Meski digambarkan seperti Lasi yang begitu polos dan Kanjat yang
sepertinya pasrah terhadap apa yang diterima Lasi, menurut saya hal tersebut
adalah cara penulis bagaimana menguatkan karakter-karakter yang dibuatnya. Apalagi
keberadaan Eyang Mus yang menurut saya beliau adalah karakter yang memiliki
jiwa tersendiri yang sengaja dimunculkan penulis dalam buku ini.
Setiap buku selalu memiliki nilai kurang karena ditulis oleh
manusia. Seperti buku ini. Yang pertama, terjadi kontras ketika penulis menceritakan tentang
kota Jakarta. Tak sebegitu terperinci seperti mendeskripsikan desa Karangsoga.
Membuat saya bertanya apakah hal ini berkaitan dengan unsur ekstrinsik penulis?
Yang mana menurut biografi singkat yang saya baca dari internet, penulis tidak
betah tinggal di kota besar dan sampai hari ini tetap bertahan untuk tinggal di
tempat kelahirannya, Banyumas.
Yang kedua adalah plot, terutama dalam pembangunan konflik. Meski
memiliki plot yang mengalir dan halus, pembangunan beberapa konflik di akhir
cerita terasa kurang. Seperti ketika Lasi mengetahui kalau pernikahannya
hanyalah main-main. Hal tersebut diceritakan hanya satu sampau dua halaman. Justru
pada konflik pertama pada awal cerita, ketika Lasi dihianati suaminya, pembangunan
konflik sangat halus dan konflik yang terjadi begitu terasa, dan memiliki
antiklimaks yang pelan dan mengalir.
Yang ketiga dan terakhir adalah kesan tergesa dalam akhir
cerita. Temponya berbeda dengan awal cerita yang begitu lamban dan mengalir.
Konflik terakhir yang dibangun hanya dibawakan sebanyak tiga sampai empat
halaman kemudian diselesaikan dengan menggunakan sebelas sampai lima belas
halaman. Barangkali karena penyelesaian terjadi di kota Jakarta, dan berkaitan
dengan kekurangan yang saya bahas di atas.
Saya rasa itu saja. Kekurangan yang ada rasanya akan
tertutupi oleh nilai tambah yang menawarkan banyak hal yang barangkali jarang
dimiliki oleh buku lain. 4,3 dari 5 saya rasa cukup.
Nah, saat ini saya sedang memulai membaca Ronggeng Dukuh Paruk. Ah, kalau saya adalah mahasiswa sastra, sepertinya hubungan unsur ekstrinsik Ahmad Tohari terhadap karya-karyanya menarik untuk dijadikan topik penelitian skripsi. Kalau saja.
No comments:
Post a Comment