Siapa yang tak bahagia jika pekerjaan yang menjadi pengisi
di waktu luangnya telah menjadi pekerjaan yang selalu mengisi. Meskipun membuatnya
harus menyisihkan waktunya untuk melakukan pekerjaan tersebut. Bahkan,
pekerjaan tersebut telah mengisi sudut ruang pikirnya yang tak sadar.
Ini mengenai hobi saya. Menulis, tentunya. Sebenarnya saya
tak pernah paham menulis ini adalah hobi atau bakat.
Saya mulai menulis ketika masih memakai dasi berwarna merah setiap
hari. Ingatan saya tentang menulis ketika itu adalah ketika kelas enam SD, saya
pernah membuat sebait puisi entah tentang apa di buku paket kawan sebangku yang
saya kira adalah buku paket saya. Dan sejak waktu itu saya selalu menyisakan
satu halaman di setiap buku tulis untuk mencoretinya.
Karena kedua orang tua saya tak pernah melarang anaknya
melakukan apapun asalkan positif, maka kebiasaan menulis saya semakin menjadi. Apalagi
ibu memperbolehkan dua sampai tiga halaman belakang di setiap buku tulis
anaknya adalah halaman yang sah untuk keperluan lain selain mencatat. Banyak rangkaian
kalimat yang terlatih dan terekam dari halaman tersebut.
Banyak yang bilang jika tulisan saya indah. Diksinya ajaib,
diskripsinya membuat terbayang, dan majasnya tak pernah terpikirkan. Namun,
jika ada yang menyeletuk bahwa ini adalah bakat, saya tak akan pernah menolak
untuk mendapatkan anugrah langka dari Tuhan yang satu itu.
Jika memang menulis ini bakat, barangkali itu adalah turunan
dari bapak dan ibu ketika saya berada dalam kandungan. Karena ibu tinggal di
Surabaya dan bapak bekerja di Palembang, maka suratlah yang mengisi komunikasi
diantara mereka. Saya pernah tak sengaja menemukannya. Dan tiga jam membaca surat-surat
mereka seperti berlalu lewat begitu saja.
Kata seorang kawan, hal itu bisa saja terjadi. Karena ketika
mengandung, apa saja yang dilakukan orang tua, dapat langsung menurun atau
tertular ke anaknya. Maka dari itu, orang tua pantang melakukan beberapa hal
buruk seperti yang dipercaya orang jawa. Contohnya kawan saya. Ibunya suka
melihat kesenian tradisional jawa ketika mengandungnya. Hasilnya, dia suka mempelajari
seni karawitan, tembang-tembang jawa, dan kesenian tradisional lainnya.
Tak jarang dalam pertemuan yang mengumpulkan orang-orang
yang memiliki keterterikan dalam bidang yang sama (seputar menulis dan sastra) dimana
ketika itu terdapat beberapa orang yang sudah mengenal saya dan tulisan-tulisan
saya, mereka selalu menyeletuk kecintaan saya terhadap menulis. Sehingga
menulis seperti predikat yang tak sengaja menggantung dalam nama saya. Saya tak
dapat menolak untuk bersyukur.
Bagi saya, menulis adalah salah satu media yang dapat
membuat saya lebih percaya diri. Tak jarang saya lolos dalam beberapa screening dengan metode essay dalam
pendaftarannya. Karena saya percaya pada kekuatan penuh dalam tulisan saya.
Semudah itu.
Meski belum pernah menjuarai lomba, menghasilkan buku, atau
bahkan banyak tulisannya yang terpotong tak sampai seperempatnya, saya
mencintai menulis entah sejak kapan dan sampai kapan. Entah ini passion saya atau bukan, yang jelas
menulis telah menyerang saya seperti apa yang saya jelaskan pada paragraf
pertama. Karena saya percaya kalau passion
tak pernah menghianati tuannya meskipun keduanya saling menyakiti.
Tak sedikit pengalaman buruk tentang menulis datang. Salah
satunya pernah dijiplak dan diubah oleh seseorang, yang kemudian di-post di blognya karena saya sempat mengunggahnya
ke internet. Salah seorang kawan saya yang amat tahu bagaimana gaya saya
menulis yang melaporkan hal tersebut. Kecewa dan marah jelas ada. Saya hanya
menegurnya. Namun sampai detik ini saya masih melakukan hal yang sama :
mengunggah karya-karya kecil saya ke internet.
Meski saya suka menulis, nilai pelajaran Bahasa Indonesia
saya tak pernah melebihi angka 8. Saya tak pernah hapal majas-majas dan tak
pernah bisa membuat sebuah kalimat dari majas yang ditentukan, namun ketika
menulis barang satu paragraf saja, isinya majas semua. Tak pernah mengerti
bagaimana struktur kebahasaan, kalimat baku, ejaan yang disempurnakan (EYD),
dan hal teknis lainnya.
Karena menulis sejatinya adalah tak menghadirkan teori.
Setidaknya itu yang saya lakukan selama beberapa tahun belakangan.
Saya tak pernah bisa menjawab bagaimana teknik dan cara agar
tulisan menarik. Karena sampai hari ini proses menulis yang saya jalani masih
dalam proses pengolahan. Belum matang. Saya hanya bisa berkata: ’menulislah saja tanpa cara’. Roma tak
dibangun dalam sehari.
Jika memang bakat menulis dalam diri saya adalah salah,
setidaknya menulis adalah salah satu kebiasaan yang berulang dan tak dilarang.
menarik..., ikut nyimak aja..!
ReplyDelete