Oh Ibu, tenang sudah lekas seka air matamu
Sembabmu malu dilihat tetangga
Sembabmu malu dilihat tetangga
Oh Ayah, mengertilah rindu ini tak
terbelenggu
Laraku setiap teringat peluknya
Laraku setiap teringat peluknya
Berkali-kali saya mendengar lagu
ini dan baru kemarin sore sebelum berangkat ke kampus mengerti apa maksudnya:
percakapan bapak dan ibu ketika anaknya sedang dalam perantauan. Setibanya di
kampus, kawan saya bertanya, “Kuliah di Matematika pengabdian kepada
masyarakatnya apa saja?” Jujur saya tidak mengerti. Percakapan kami sebelumnya memang
mengarah kepada hal tersebut. Adalah tentang KKN yang memiliki hubungan dengan
pengabdian kepada masyarakat yang sayangnya tidak diadakan di ITS.
Malamnya, ketika saya membaca
buku Bekisar Merah oleh Ahmad Tohari di kamar, saya telah sampai ketika Kanjat
mengalami dilema untuk penulisan skripsinya. Isi skripsinya tentang
kenyataan-kenyataan tentang penyadap nira di desa Karangsoga, tempatnya
dibesarkan. Lantas ia sempat ragu jika penulisan skripsinya menonjolkan
keterpihakannya terhadap kehidupan masyarakat di kampungnya. Sayangnya, keterpihakannya
tersebut didukung oleh dosen pembimbingnya.
“Jat, kamu tahu, sudah terlalu
banyak kaum sarjana seperti kita telah kehilangan rasa terima kasih kepada ‘ibu’
yang membesarkan kita. Mungkin karena, ya itu, mereka seperti kamu, takut
dibilang sok moralis. Mereka lebih suka memilih hanyut dalam arus kecenderungan
pragmatis. Agaknya mereka lupa bahwa dari segi-segi tertentu pramagtisme
menjadi benar-benar amoral. Jadi mereka jadi amoral karena takut dibilang
moralis.” Doktor Jirem, Dosen pembimbing skripsi Kanjat, Bekisar Merah oleh
Ahmad Tohari hal. 92 cetakan baru.
Percakapan dengan dosen
pembimbingnya mengarah kepada pemikirannya tentang biaya pendidikannya yang
diambil dari keuntungan yang tidak wajar dari penjualan gula nira yang dijual
kepada ayahnya. Dan sekaligus menampar saya sebagai mahasiswi yang sorenya
diberi pertanyaan tentang pengabdian kepada masyarakat. Di tengah dilemanya
tersebut, Kanjat memutuskan untuk pulang tanpa mengerti apa keperluannya untuk
pulang.
Saya menatap langit-langit kamar
sebentar memikirkan sesuatu. Kemudian meneruskan membaca.
Beberapa jam yang lalu saya
membaca tumblr Banda Neira tentang lagu Di Beranda. Tentang bagaimana proses
penemuan lagu tersebut. Dan baru saja saya melihat rak sepatu. Hanya sepatu merah
saya yang tersisa. Biasanya ada lima pasang sepatu memenuhi baris pertama. Jika
saya pergi, baris pertama tersebut kosong. Barangkali itu yang dirasakan nenek
ketika bapak dan ibu pergi bekerja, kedua adik berangkat sekolah dan aku kuliah
: kosong.
Tidak sampai 24 jam, saya
dihadapkan suatu hal yang berkaitan : merantau dan kepulangan.
Sejak lama saya tertarik dengan
pembahasan seperti ini. 21 tahun besar di Surabaya dan hanya pergi ke luar kota
tidak sampai sebulan membuat saya kadang berpikir untuk merantau saja selepas
kuliah nanti. Alasannya : bosan di Surabaya, ingin merantau, ingin merasakan
jauh dari orang tua, ingin merasakan kepulangan karena rindu, ingin merasakan
mengumpat rindu, dan semacamnya.
Saya salah satu orang yang sangat
mengagumi perantau. Jauh dari orang tua, mengatur keuangan sendiri, mengalami
rindu kepada orang tuanya, mengalami interaksi bersama orang tua di telepon,
dan semacamnya yang tidak bisa dirasakan saya dan teman-teman yang tidak
merantau.
Beberapa dari mereka memiliki
kebiasaan yang unik tentang kepulangan. Ada yang tidak bisa pulang karena tidak
pernah sempat, ada yang ingin pulang namun terkendala biaya, ada yang selalu
memiliki kesempatan pulang, sampai ada yang tidak ingin pulang karena ia
menyepelekan perkara pulang. Ada.
Saya amat suka perjalanan ke luar
kota bersama teman-teman. Perjalanan tersebut bagi saya adalah miniatur kecil
bagaimana merantau nanti. Alhamdulillah, ibu dan bapak tidak pernah membatasi
anaknya untuk pergi asalkan kami terbuka mengenai mengendarai apa, dengan
siapa, hendak kemana, sampai berapa hari, dan semacamnya.
Dalam perjalanan tersebut, kadang
ibu atau bapak sms makan apa, tidur dimana, lagi ngapain, lagi dimana, uangnya
cukup atau tidak, dan semacamnya. Tak sedikit dari sms tersebut saya acuhkan. Ini
membuat saya tidak rindu rumah. Namun jika saya ke luar kota dan sedang di
rumah saudara dengan fasilitas yang mirip dengan rumah seperti makan tiga kali
sehari, ibu dan bapak amat jarang mengirimkan sms yang serupa. Ini membuat saya
rindu dengan rumah.
Ah, saya tidak bisa membayangkan
bagaimana nantinya jika saya pergi ke perantauan untuk bekerja, membantu bapak
dan ibu membiayai sekolah kedua adik. Apakah mereka masih menanyakan tidur
dimana ketika saya sudah memiliki tempat kos yang layak? Apakah mereka masih
menanyakan sudah makan apa belum ketika saya sudah memiliki jatah makan dari
kantor? Apakah mereka masih menanyakan uangnya cukup atau tidak karena saya
belum bisa mengatur keuangan?
Postingan ini mulai terasa
sentimentil.
Kini kamarnya teratur rapi
Ribut suaranya tak ada lagi
Tak usah kau cari dia tiap pagi
Ribut suaranya tak ada lagi
Tak usah kau cari dia tiap pagi
Dan jika suatu saat buah hatiku buah hatimu
Untuk sementara waktu pergi
Untuk sementara waktu pergi
Usalah kau pertanyakan kemana kakinya kan
melangkah
Kita berdua tahu dia pasti pulang ke rumah
Kita berdua tahu dia pasti pulang ke rumah
…pulang ke rumah…
No comments:
Post a Comment