Wednesday 13 August 2014

Merantau dan Kepulangan

Oh Ibu, tenang sudah lekas seka air matamu
Sembabmu malu dilihat tetangga

Oh Ayah, mengertilah rindu ini tak terbelenggu
Laraku setiap teringat peluknya


Berkali-kali saya mendengar lagu ini dan baru kemarin sore sebelum berangkat ke kampus mengerti apa maksudnya: percakapan bapak dan ibu ketika anaknya sedang dalam perantauan. Setibanya di kampus, kawan saya bertanya, “Kuliah di Matematika pengabdian kepada masyarakatnya apa saja?” Jujur saya tidak mengerti. Percakapan kami sebelumnya memang mengarah kepada hal tersebut. Adalah tentang KKN yang memiliki hubungan dengan pengabdian kepada masyarakat yang sayangnya tidak diadakan di ITS.

Malamnya, ketika saya membaca buku Bekisar Merah oleh Ahmad Tohari di kamar, saya telah sampai ketika Kanjat mengalami dilema untuk penulisan skripsinya. Isi skripsinya tentang kenyataan-kenyataan tentang penyadap nira di desa Karangsoga, tempatnya dibesarkan. Lantas ia sempat ragu jika penulisan skripsinya menonjolkan keterpihakannya terhadap kehidupan masyarakat di kampungnya. Sayangnya, keterpihakannya tersebut didukung oleh dosen pembimbingnya.

“Jat, kamu tahu, sudah terlalu banyak kaum sarjana seperti kita telah kehilangan rasa terima kasih kepada ‘ibu’ yang membesarkan kita. Mungkin karena, ya itu, mereka seperti kamu, takut dibilang sok moralis. Mereka lebih suka memilih hanyut dalam arus kecenderungan pragmatis. Agaknya mereka lupa bahwa dari segi-segi tertentu pramagtisme menjadi benar-benar amoral. Jadi mereka jadi amoral karena takut dibilang moralis.” Doktor Jirem, Dosen pembimbing skripsi Kanjat, Bekisar Merah oleh Ahmad Tohari hal. 92 cetakan baru.

Percakapan dengan dosen pembimbingnya mengarah kepada pemikirannya tentang biaya pendidikannya yang diambil dari keuntungan yang tidak wajar dari penjualan gula nira yang dijual kepada ayahnya. Dan sekaligus menampar saya sebagai mahasiswi yang sorenya diberi pertanyaan tentang pengabdian kepada masyarakat. Di tengah dilemanya tersebut, Kanjat memutuskan untuk pulang tanpa mengerti apa keperluannya untuk pulang.

Saya menatap langit-langit kamar sebentar memikirkan sesuatu. Kemudian meneruskan membaca.
Beberapa jam yang lalu saya membaca tumblr Banda Neira tentang lagu Di Beranda. Tentang bagaimana proses penemuan lagu tersebut. Dan baru saja saya melihat rak sepatu. Hanya sepatu merah saya yang tersisa. Biasanya ada lima pasang sepatu memenuhi baris pertama. Jika saya pergi, baris pertama tersebut kosong. Barangkali itu yang dirasakan nenek ketika bapak dan ibu pergi bekerja, kedua adik berangkat sekolah dan aku kuliah : kosong.

Tidak sampai 24 jam, saya dihadapkan suatu hal yang berkaitan : merantau dan kepulangan.
Sejak lama saya tertarik dengan pembahasan seperti ini. 21 tahun besar di Surabaya dan hanya pergi ke luar kota tidak sampai sebulan membuat saya kadang berpikir untuk merantau saja selepas kuliah nanti. Alasannya : bosan di Surabaya, ingin merantau, ingin merasakan jauh dari orang tua, ingin merasakan kepulangan karena rindu, ingin merasakan mengumpat rindu, dan semacamnya.

Saya salah satu orang yang sangat mengagumi perantau. Jauh dari orang tua, mengatur keuangan sendiri, mengalami rindu kepada orang tuanya, mengalami interaksi bersama orang tua di telepon, dan semacamnya yang tidak bisa dirasakan saya dan teman-teman yang tidak merantau.

Beberapa dari mereka memiliki kebiasaan yang unik tentang kepulangan. Ada yang tidak bisa pulang karena tidak pernah sempat, ada yang ingin pulang namun terkendala biaya, ada yang selalu memiliki kesempatan pulang, sampai ada yang tidak ingin pulang karena ia menyepelekan perkara pulang. Ada.

Saya amat suka perjalanan ke luar kota bersama teman-teman. Perjalanan tersebut bagi saya adalah miniatur kecil bagaimana merantau nanti. Alhamdulillah, ibu dan bapak tidak pernah membatasi anaknya untuk pergi asalkan kami terbuka mengenai mengendarai apa, dengan siapa, hendak kemana, sampai berapa hari, dan semacamnya.

Dalam perjalanan tersebut, kadang ibu atau bapak sms makan apa, tidur dimana, lagi ngapain, lagi dimana, uangnya cukup atau tidak, dan semacamnya. Tak sedikit dari sms tersebut saya acuhkan. Ini membuat saya tidak rindu rumah. Namun jika saya ke luar kota dan sedang di rumah saudara dengan fasilitas yang mirip dengan rumah seperti makan tiga kali sehari, ibu dan bapak amat jarang mengirimkan sms yang serupa. Ini membuat saya rindu dengan rumah.

Ah, saya tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya jika saya pergi ke perantauan untuk bekerja, membantu bapak dan ibu membiayai sekolah kedua adik. Apakah mereka masih menanyakan tidur dimana ketika saya sudah memiliki tempat kos yang layak? Apakah mereka masih menanyakan sudah makan apa belum ketika saya sudah memiliki jatah makan dari kantor? Apakah mereka masih menanyakan uangnya cukup atau tidak karena saya belum bisa mengatur keuangan?

Postingan ini mulai terasa sentimentil.

Kini kamarnya teratur rapi
Ribut suaranya tak ada lagi
Tak usah kau cari dia tiap pagi

Dan jika suatu saat buah hatiku buah hatimu
Untuk sementara waktu pergi

Usalah kau pertanyakan kemana kakinya kan melangkah
Kita berdua tahu dia pasti pulang ke rumah

…pulang ke rumah…

No comments:

Post a Comment