Saturday 28 May 2011

Lelakiku

Lanjutan yang ini.

Aku mencintainya. Mencintai lelaki yang kusebut Galang. Dia mencintaiku. Kami mencinta. Tak seperti Romeo dan Juliet, Rama dan Shinta, atau Jack dan Rose di dalam film Titanic. Tak perlu ada orang yang tahu. Cukup kita berdua yang mencinta. Cukup kita berdua yang tahu. Cukup langit kosong, dan wewangian kamboja.

Dia lelaki pertama yang kutemui kala hati ini sedang linglung mencari sandaran. Tak ada yang tersedia disana. Ia lewat, tersenyum. Tanpa menyajikan nama, ia siap menjadi seorang lelaki yang malam hadirkan untukku. Hanya untukku. Tak ada hal lain yang memilikinya. Tidak juga Tuhan maha semesta alam. Dia milikku. Tuhan tak akan pernah mengambilnya sebelum mengambil sisa ejaan dari kata-kataku, dari peradaban manusia yang tumbuh liar seperti alang-alang.

Tak ada wanita yang jatuh cinta padanya sebelum aku mencintainya. Dia hanya lelaki sebelum aku mencintainya. Dia hanya membatin sebelum aku mencintainya.

Dari setiap malam, aku selalu merindukannya. Merindukan nasihat, suara, bahasa, huruf, angan. Omong kosong! Caranya bangga dengan gayanya. Caranya memberi taburan ganja pada setiap senyum yang merekah ketika aku berkata kalau hari ini indah. Kepada tawa buatan untuk membuatku semakin mencintainya.

Dia temanku. Bukan kekasih. Ketika aku menawarkan diri untuk menjadi pelacurnya, ia menolak. Lebih banyak lelaki biadab untukmu, sayang, begitu katanya. Dia temanku. Bukan kekasih. Cintaku padanya dan cintanya padaku bukan batasan. Bukan sebuah kata ghaib yang mudah raib. Dia temanku. Bukan kekasih. Dia tak pernah berani menyalakan korek di depan lidahku.

Lelakiku, begitu aku menyebutnya. Dia seutuhnya milikku. Setiap sudut tubuhnya. Setiap tetes minuman yang diteguknya. Setiap butir nasi yang terselip di ruang kosong di kedua giginya. Setiap kata yang terlontar dari bibirnya, bahkan setiap butir nada yang terurai dari desahan setiap malam, itu milikku.

Dia satu-satunya lelakiku. Hanya dia. Aku pun wanitanya. Tapi bukan miliknya. Dia milikku. Aku yakin, tak ada yang menggantikannya meskipun dia adalah seorang lelaki jalang dengan segundang kata cinta. Aku yang memberiku kata cinta kepada lelakiku. Aku wanita yang mencintainya dengan segenap nyawa yang kumiliki. Aku wanita yang mencintainya dengan syarat, dia tetap disini.

Aku sangat mencintainya. Dan ketika malam mendorongku untuk menanyakan apakah ia akan tetap disini bersamaku, aku hanya mendengarkan cecapannya, tawa, kemudian kutanyakan kembali. Dia kembali mencecap. Kembali tertawa. Tuhan, aku sangat mencintainya. Meskipun pelaminan bukan garis akhir kita.

Aku bertanya lagi. Dia tidak mencecap lagi. Dia tidak tertawa lagi. Dia menatap mataku. Dia menggenggam tanganku. Ku izinkan bibirnya berucap kata yang ku rencanakan untukku.

“Aku imajimu. Selama kau ada, aku ada”



Surabaya, 13 April 2011.
Track #04.

5 comments:

  1. yak ampuuun, astagaaa :')
    dapet inspirasi dari mana cyiin?
    *nutup mulut pake genggaman di akhir baca :')

    ReplyDelete
  2. bagus bgt tulisan2 lo :) udah coba kirim ke suatu redaksi?

    ReplyDelete
  3. @nanda : inspirasi? nemu di jalan. jalanan selalu mengajakku berbicara dengan imajinasi. mengapa tidak membuat keduanya saling mencinta? yegak? mudeng gak nda?

    @titus : hehe thankss :) redaksi majalah? sudah, tapi ditolak. tapi itu udah jaman kapan hehe. sekarang fokus bikin novel. doanya yaa :)

    ReplyDelete
  4. good idea! ;) good luck yaa. btw udah gue link blog lo heheh

    ReplyDelete