Wednesday 29 October 2014

Debaran Bertemu Debaran


Rumah yang kami tempati sedang dibetulkan. Atap kamarku sampai teras depan masih menggunakan atap lama yang bisa membuat sinar matahari leluasa masuk menerpa kasur.

Rumah ini sudah dibetulkan semenjak aku duduk di bangku SD. Material yang menyusun rumah kami sudah tua. Beberapa yang bermaterial kayu telah hamper habis dimakan rayap. Kata ibu, rumah kami hampir roboh.

Namun, karena keterbatasan biaya, bapaklah yang mengerjakan hampir semua pekerjaan pembetulan rumah. Karena alasan yang sama juga, pembetulan rumah tidak dapat dilakukan hanya dengan hitungan bulan. Melainkan dengan hitungan tahun.

Yang kusuka dari acara pembetulan rumah adalah kami seakan mendapatkan kesempatan yang langka : bertukar tempat tidur.

Tak ada kalimat kepemilikan “Ini kamarku, tidur saja sendiri di kamarmu.” Yang menurutku membuat seorang mengotak-ngotakkan kepentingan dan privasi dalam sebuah ruangan yang disebut kamar.

Hari ini aku tidur berdua dengan adik di kamar ibu. Besok bisa saja tidur sendiri di kamar adik. Atau malah tidur bersama ibu, nenek dan adik di ruang tamu. Menyenangkan.

Yang kusuka dari tidur bersama adalah : debaran bertemu dengan debaran. Setidaknya itu yang kurasakan ketika tidur bersama adik. Apalagi ketika keduanya masih terjaga dan saling bertatapan.

Pernah mengenal percobaan getaran yang dirasakan oleh telinga ketika ditempelkan pada rel kereta api? Atau, praktek dengan dua gelas air mineral yang dihubungkan oleh sehelai benang yang panjang yang kemudian bisa mengantarkan suara?

Dengan teori yang sama, aku percaya dengan adanya penghantaran debaran jantung ketika sedang tidur beralaskan kasur yang sama. Jadi, secara tidak langsung kita sebenarnya dapat ikut merasakan debaran jantung seseorang ketika sedang tidur dengan alas yang sama.

Aku  juga pernah mendengar bahwa yang dapat mendekatkan dua orang manusia adalah makan bersama, tidur bersama, dan mandi bersama. Aku  selalu menganggap bercanda tentang poin yang terakhir. Dan biasanya, untuk merekatkan rasa, dalam berteater dibutuhkan makan bersama dan tidur bersama tersebut.

Cukup logis jika kedua premis tersebut dikaitkan menjadi sebab akibat. Menurutku.

Aku juga percaya bahwa tidur adalah titik dimana manusia paling terlihat jujur. Karena mana mungkin kita dapat mengendalikan diri kita untuk tidak kentut dengan suara yang keras, kan? Dalam keadaan terjaga, seseorang akan izin untuk keluar untuk melepaskan gas tersebut atau malah main tuduh ketika gas tersebut berbau sangat menyengat.

Ini hanya racauan mentah. Apakah iya teori tersebut pernah dibahas dari banyak aspek, aku belum pernah membacanya. Jika ada dan hendak berdiskusi, silakan hubungi saja. Lagi pula, kalimat-kalimat diatas adalah hasil dari pemikiranku saja. Karena tidak ada yang akan tertarik dengan bahasan yang tidak penting seperti ini, maka kuputuskan untuk kurekamnya dengan menulis di blog. Siapa tahu aku mendapat orang dengan pemikiran yang sama. Kan lumayan.

Jadi, barangkali aku akan sering memposting tentang racauan racauan di dalam otakku ke dalam tulisan seperti ini. Karena meracau itu menyenangkan. Dan menulis itu mengasyikkan!

No comments:

Post a Comment