Monday, 1 December 2014

Ingatan Tentang Mbah Kung

Sore yang masih sama seperti sore-sore sebelumnya. Kudapati Mbah Kung duduk di ruang tamu, di kursi hijau dekat radio, menghadap ke pintu rumah. Lagu campursari berkumandang. Sarung coklatnya masih menempel selepas sholat Ashar, suaranya merdu mengikuti alunan lagu. Apalagi tepuk tangannya. Tak pernah bisa dipisahkan dengan matanya yang sesekali tertutup karena menikmati lagu. Seperti lupa kalau beliau sudah punya cucu tiga.

Atau jika sore hujan angin dan listrik mati sehingga tak dapat menyalakan radio, yang dilakukan Mbah Kung adalah nembang. Ditemani kopi, pisang goreng, dan aku yang sedang membaca di teras depan rumah. Menyenangkan.

Hari ini Mbah Kung tak menanyakan lagi ada pentas apa di THR. Dulu, ketika Mbah Kung masih ingat cara mengendarai sepeda motor, aku adalah pilihan pertama dan satu-satunya yang akan diajak pergi ke THR atau ke Taman Budaya Cak Durasim. Sebagai asisten pembaca jadwal pementasan ludruk, ketoprak, wayang, atau campur sari.

Namun, ketika usianya memakan segala ingatan tentang tetek bengek THR dan seni pertunjukan tradisional lainnya, yang tersisa adalah menanyakan apakah aku sudah membeli tiket masuk pertunjukan Ketoprak yang dihadiri oleh Kirun.

Kala itu November. Hujan tak bisa terprediksi. Bisa-bisa hujan angin. Karena tak ingin kehabisan tiket, aku menerobos hujan deras sehabis kuliah seharian. Sampai THR pukul 6 sore dengan basah kuyup. Kubeli 2 tiket.

Sampai di rumah, kupamerkan dua tiket yang disampul plastik. Mbah Kung hanya berkata, “Numpak opo? Iso mbonceng aku?” (Naik apa? Bisa memboncengku?) Aku tak kecewa. Sama sekali tidak. Mbah Kung hanya menanyakan apakah aku sudah membeli tiket. Tak pernah menawarkan dirinya untuk ikut serta.

Pada hari pertunjukan, hatiku melengos. Tak sampai dua puluh orang hadir untuk menonton. Kupilih baris kedua depan panggung dengan mudahnya. Pertunjukan berlangsung dengan ringannya. Jika Mbah Kung dapat hadir, barangkali suaranya tertawa adalah yang paling keras.

Belum selesai pertunjukan, seorang kakek yang duduk di belakangku menyodorkan dua tiket doorprize-nya kepadaku. Katanya, barangkali aku yangbedjo. Kemudian ia pulang bersama cucu perempuannya. Dan ketika itu aku rindu Mbah Kung.

Yang dalam ingatanku, Mbah Kung yang jago nembang, Mbah Kung yang tenang tapi pandai melucu, Mbah Kung yang petuah-petuahnya bisa kucerna dengan sifatku yang keras kepala, Mbah Kung yang mewarisi gaya tulisan aksara jawa kepadaku yang kata Mbah Uti sama persis.

Ah, namun sayangnya, aku baru pertama kali bertemu Mbah Kung ketika beliau sudah tidak bisa merespon cepat dengan siapa dia berbicara dan tak dapat mengenali orang dengan mudah.

Surabaya, 1 Demember 2014

**

Mendadak rindu Mbah Kung. Rindu kepada manusia yang hanya bertemu sekali. Itupun tak sampai satu jam dan hanya berinteraksi melalui ciuman tangan dua kali. Paragraf terakhir menerangkan tentang bagaimana keadaan Mbah Kung ketika aku bertemu dengannya.

Mbah Kung masih hidup. Tapi, aku dan ibuku tak pernah tumbuh bersamanya semenjak kecil. Jadi, selama ini aku membuat ingatan tentang beliau meski tak sepenuhnya benar. Sebenarnya hanya tak sebatas ini ingatan yang kubuat. Tapi, aku terbata dengan ingatan tersebut. Karena ingatan di atas tak pernah terjadi.

Cerita di atas adalah komparasi antara ingatan yang kubuat tentang Mbah Kung dan peristiwa yang membuatku rindu kepadanya. Kadang aku juga menerka apa yang biasa ia lakukan jika aku tumbuh bersama beliau.

Jadi, beginilah Nita kalau sedang rindu, tapi orangnya tak pernah bertemu atau berinteraksi. Suka membuat ingatan.

Ini sudah Demember. Mari kita bicarakan ingatan.

No comments:

Post a Comment