Saturday 26 March 2011

Seperti Jam

Kemarin (lusa) malam, tepat tanggal 23 Maret 2011, sahabat saya (saya ragu dengan julukan ini) memberikan sebuah SMS yang berisi :
BLP yang tanggal 27 itu dimana?
Dengan pulsa tinggal selembar HVS 60gr dibagi 1000, saya membalas, dan berharap keinginan saya itu dapat terkabul. Keinginan untuk melihat Barry dkk. Balasan saya :
Lenmarc. Kenapa? HOPELESS pek aku fan.
Tak berselang lama, dia membalas yang pada intinya temannya ada yang ngefan berat sama Barry, dan dia seorang bassist.

Emosi gembira memuncak ke ubun-ubun, meski pada akhirnya tidak mencuat. Kedua telapak tangan saya bertepuk, saya super excited. Super senang, dan mungkin kesenangan saya sudah tak ada tandingannya. Dan kesenangan saya ini beralasan, semoga bisa dapet tebengan buat lihat Barry. Apalagi temannya dia ini juga mengidolakan Barry. Sebagai imbalannya, saya mungkin akan mengajak dia (teman dari sahabat) ke backstage untuk sekedar foto atau minta tanda tangan, karena jarang-jarang Barry dkk ke Surabaya. Seingat saya, terakhir mereka ke Surabaya tepat tanggal 7 April 2010.

Dan malam ini, saya sudah menumpuki pulsa saya dengan beberapa nol dibelakangnya, meski angka depannya tidak jauh berbeda dengan angka pertama bilangan asli.
Saya bertanya padanya, yang intinya, saya memastikan kalau saya dapat tebengan dari temannya. Jawabannya?
Temenku ke sana sama pacarnya niiit..
Rasanya seperti satu kuku baru saja dicabut tanpa anastesi.
Well, kesimpulannya adalah : saya tidak bisa melihat penampilan mereka.
Tidak sampai disini. Kalau emosi sudah ada yang menyulut, semua cabang perasaan labil saya muncul. Mulai dari keinginan untuk punya pacar, hingga pikiran bahwa saya ini sendiri. Benar-benar sendiri.
Keluarga. Tidak.. saya tidak akan pernah menganggap mereka adalah tambahan dalam hidup saya. Mereka adalah suatu hal yang memang menjadi hidup saya. Sebelum saya hidup, sebelum saya lahir, keluarga sudah menantikan saya.

Lalu apa?

Teman. Sahabat.
Rasanya, saya tidak memiliki keduanya. Satu persatu Tuhan seperti mengambil mereka, kemudian meletakkan mereka pada dunia yang disebut kesibukan, kebencian, atau mungkin kebohongan.
Coba tanya kepada salah satu dari mereka seperti ini : “Tempat mana yang sangat saya cintai?”
Jawaban mereka mungkin “Tidak tahu. Bagaimana aku bisa tahu, sedangkan kau tidak pernah bercerita kepadaku”.
Dan kalau itu terlontar, mungkin saya akan menjawab, “Bagaimana kau bisa tahu, sedangkan aku tidak bisa berbicara di depanmu. Aku tidak bisa jujur denganmu. Kemana kau ketika aku mengirimkan sms tidak penting yang menyuarakan ‘aku butuh nasihatmu’? Kemana kau ketika aku ingin menyentuh alat wanita yang sebulan sebelumnya kau sudah membicarakannya? Kemana kau ketika airmata ini tak bisa menetes? Kemana kau ketika aku meminta pendapatmu tentang lelaki yang baru kutemui kemarin?”

Kalau kau sahabatku, kau boleh melancangiku. Dan nyatanya kau tak lancang. I appreciate it. Sangat. Tapi tahukah kau, sebenarnya itu yang membuat kita ada jarak? Entahlah.

Malam ini, saya merasa menjadi seseorang yang tidak pernah beranjak dewasa. Dewasa? Ahya, pernah salah satu dari (mungkin) sahabat saya berkomentar :
“Bersikaplah dewasa sedikit. Kalau kau bersikap seperti anak-anak, bagaimana kau dapat memiliki pacar, ha?”
Ncus, menggelegar di otak. Pernyataan yang membuat saya menuntut kenyataan dari pernyataan yang tersimpan.
“Bagaimana aku bisa bersikap dewasa, jika ketika aku mendapat masalah, aku hanya berbicara kepada nuraniku, bukan mencari pendapat darimu. Bagaimana aku bisa bersikap dewasa, kalau aku masih kau anggap sebagai anak kecil yang hanya akan menangis ketika permen manisnya direbut. Bagaimana aku bisa bersikap dewasa, ketika kau ambil lelaki-lelaki yang menanyaiku, untuk memperhatikan kau. Bagaimana aku bisa bersikap dewasa, ketika satu-persatu gagasanku kau ambil. Bagaimana?”
Entahlah.
Sampai saat ini, sampai umurku lebih dari 18 tahun lebih 8 hari, saya masih merasa.. saya masih belum siap dengan tantangan kedepan. Tantangan itu seperti sebuah jarum jam yang selalu berputar dengan sudut yang sama, jalur yang sama, arah yang sama, tepat, dan tidak pernah berhenti sebelum rusak.
Bukan seperti jalanan yang menyimpan segalanya. Saya hanya memiliki secuil pasir. Meski berbeda bentuk, tetap saja kecil. Belum ada pelajaran dari ucapan mereka. Ah ya, saya lupa bahwa saya sebenarnya seperti tidak memiliki mereka.

Saya rasa, hidup saya masih stagnan. Saya hidup, tapi rasanya hidup saya ini seperti.. seperti jam.

No comments:

Post a Comment