Monday 31 January 2011

sebuah hal

Hujan.
Setiap kali langit sedang bimbang atas segalanya, aku selalu berharap hujan datang.
Karena disetiap tetesnya, tak ada yang lebih detil selain menangkap sisa-sisa rerintikan yang selalu sama. Yak, selalu sama.
Ia juga selalu mampu mengalihkan emosi. Tanpa didengar, tanpa tercium.
Terkadang, hujan juga bisa mengembalikan sebutir memoar tentang dirinya. Lelaki itu.
Katanya, tak ada yang lebih indah selain menikmati lelaki itu melewati tirai hati.
Menikmati.
Lebih baik bisu sama sekali daripada merasakan getaran lain ketika hujan. Katakan saja lumpuh.
Karena hujan adalah nyanyian syahdu yang baru saja hadir ketika kau tidak menginginkannya.
Kilat selalu saja malu tentang nyanyian petir. Padahal, mereka hanya berjarak waktu.
Sebuah kecepatan.
Fisika : kecepatan cahaya lebih besar dari pada kecepatan suara. Setidaknya seperti itu.
Ini mengapa kita mengenal kilat sebelum petir.
Dan baru saja aku tahu : ini mengapa hujan selalu membisikkan kata cinta darinya,sebelum aku menelusuri aroma wajahnya, karena hujan takut terlambat.

Aku tidak mengerti apa arti hujan sebenarnya.
Melebihi proses evaporasi-dan sebagainya kah?
Aku pikir tidak.
Hujan mengajarkanku bagaimana ia lebih rumit ketimbang rasanya.
Ia juga melebihi embun pagi yang tidak pernah bosan membasahi dedaunan yang terkadang bisa saja layu karenanya.
Ia juga mampu mengungkap kebahagiaan melalui tetesannya yang memijat kelopak mata.
Membuatku tertawa, meskipun kawan mencecap, membencinya.
Atau aku juga bisa membenci kelabunya langit, dan ketakutan kawanku bersandar.

Hujan itu bukan tentang kebencian.
Yang bisa merusak tetumbuhan, membuatnya semakin cepat menua.
Bukan tentang keluhan, atau cecapan keletihan yang masih belum bisa bersandar pada tiang kemarau.
Hujan bukan tentang kepergiannya.
Bukan aransemen ulang sebuah tangisan yang malu.

Hujan itu tentang cinta
Bagaimana kita merasakan, bagaimana kita membencinya.
Atau, bagaimana tiba-tiba kesedihan itu terkuak.
Hujan juga tentang dia, tentang segala atmosfer kenikmatan yang tidak pernah bisa berdusta lewat kerlingan matanya, tentang segaris senyum, dan keluhan tentang waktu.


Senja.
Senja itu tentang waktu.
Bagaimana matahari lelah, kemudian bersandar di sang ufuk barat.
Bagaimana gemintang itu berdansa, menampilkan tariannya yang selalu indah.
Bagaimana bulan yang malu atas rupanya yang padahal tidak pernah digubris manusia.
Senja berbicara tentang dihinggapi jingga.
Bukan tentang pujangga kesepian yang meraut asa diiringi nyanyian pena.
Atau gadis galau yang melangkahkan kakinya ke jurang dangkal.

Senja itu sederhana.
Tak berniat menciptakan ketakutan.
Ia tak pernah sengaja menjadikan dirinya tempat keletihan berlabuh.


Imajiku, datanglah padaku.
Injak semua kegetiran melewati batas.
Tunjukkan padaku pelangi satu warna.
Tunjukkan padaku kerlingan itu, kerlingan yang nyaris saja membuatku berkata tidak.
Tunjukkan padaku satu hal yang tidak pernah kuceritakan.

Agar aku dapat mengiyakan ajakanmu mencinta.

ps : dapet ide pas aku lari. that's why i love rain (?)

No comments:

Post a Comment