Wednesday 29 December 2010

Rindu (puisi yang ditulis saat saya lgi kesurupan)

Rindu.

Apalah artinya jika tidak diselingi tidak saling bertemu.
Aku heran, mengapa Tuhan sempat saja membuat rasa ini.
Rasa yang tiba-tiba muncul ketika kita berpisah dengan seseorang. Bahkan banyak.
Tuhan begitu detil. Hingga sebuah rasa yang tidak kita ingini ada dalam diri kita pun diciptakanNya untuk kita.

Ketika pertama kali bertemu, aku ingat betul bahwa kita tidak pernah mengira akan ada perpisahan.
Setidaknya, di setiap perpisahan, ingatlah sepetik kata ini:
“Lebih baik pernah memilikimu daripada aku tidak pernah sama sekali tahu tentangmu. Walaupun pada akhirnya kita berpisah”
Seberat apapun rindu yang kita pikul setelah berpisah, ringankanlah dengan tidak akan menghapus memoar tentang kita. Pedih sekalipun.

Rindu itu sebagian dari hidup.
Sebuah rasa dari generasi yang bernama cinta.
Dusta jika kita merindukan seseorang tanpa dipertuankan rasa cinta. Atau sayang.
Tiba-tiba kita meraksa tersiksa dengan rasa yang satu ini. Merasa jadi budak.
Tidak makan jika yang dirindukan belum makan. Ckck, lucu. Tapi nyata.

Ya, aku merindu.
Dengan sebuah tawa yang selalu membuatku larut, kemudian lupa zat apakah aku ini.
Dengan sebuah senyum yang selalu saja bisa membuatku terlempar jauh tidak percaya.
Dengan amarah yang meletup kecil, kemudian gelisah sepanjang detik.
Dengan sentuhan yang membuatku lupa bahwa hari esok masih ada tantangan yang tak pernah berhenti untuk mengambil sentuhan itu.
Dengan nafas merdu yang mengalahkan semua nyanyian.
Dengan sehelai cerita yang belum tentu semua bahasa dapat melantunkannya.
Dengan lagu yang slalu didendangkan agar aku terlelap.
Dengan percakapan tentang batu, kerikil, bahkan pasir.
Dengan diam dan kenikmatan yang sungguh luar biasa.
Dengan dia.

Lelakiku,
Datanglah kembali.
Aku sungguh tidak sanggup merasakan sebutir pasir terasa manis tanpamu.
Kau bahkan yang membuat petir menjadi sebuah nyanyian keraguan.

Ah, aku ingat kata-katamu yang seperti ini :
“Langit tidak pernah berbohong. Mereka hanya ragu”.
Ragu seperti dirimu?
Yang selalu memilih pergi karena kecemburuan.
Bodoh.

Lelakiku,
Datanglah kembali dalam malam pilu sebagai purnama tanpa debu.
Dengan tawa atau sebuah nyanyian rindu.
Dengan tepukan lembut.
Sungguh, aku rindu.

Kawani aku merajut lagi debu usang untuk menjadi jubah kemenangan lagi.
Bantu aku menata jarum untuk berdiri diatas pualam kering.
Rayu lagi aku agar aku ingin sedetik saja mendengarkanmu berceloteh angkasa.
Yakinkan aku untuk kesekian kalinya bahwa kebahagiaan selalu di palung lautan duri.
Biarkan burung tidak lagi mencintai angkasa ketika daratan menjadi tempat kita singgah bersama.
Pacu aku menjerit untuk melupakan mengiris nadiku.

Lelakiku,
Aku tuli ketika kau bilang ilmu itu cerdas.
Mengapa?
Meskipun ilmu memperdekat kita, tapi ajal lebih dekat, sayang.
Ingatlah Tuhanmu.



-end- rahamnita
Surabaya, 21 Desember 2010
12:40 AM

No comments:

Post a Comment