Saturday 30 April 2011

Pernikahan

Saya pernah mendengar dari teman, bahwa ketika hidup, ingatlah tiga hari penting ini: kelahiran, pernikahan, kematian. Kelahiran, semua orang pasti akan melaluinya, juga kematian.
Tapi pernikahan? Saya yakin, tidak semua orang bisa menjalaninya.

Seorang wanita bisa hidup karena tulang rusuk prianya. Begitu saya sering dengar. Tak jarang, ketika mereka –pria dan wanita– telah sah menjadi suami istri, rasanya hidup merasa sudah jangkap. Bukan karna telah memiliki seseorang yang dicintainya. Melainkan tulang rusuk yang terpisah itu bisa selalu berdekatan. Well, saya mungkin belum merasakan ‘kejangkapan’ itu. Tapi, dari saya mendengar, membaca, dan melihat, saya bisa merasakan ‘chemistry’ dari mereka. Hebat.

Bagaimana untuk mereka yang belum menemukan tanggal pernikahannya ketika tanggal kematiannya sudah diingat beberapa orang?

Entahlah. Itu sebuah kuasa Tuhan. Di otak saya tercentang beberapa faktor yang menjadi sebab kejadian itu. Tapi rasanya itu semua hanya anggapan manusia. Bukankah Tuhan yang merancang semuanya?

Pernikahan. Siapa yang tak menginginkannya? Menjadi raja/ratu sehari, menjalani serentetan acara bersama dia yang sejak dulu dicintai, melihat senyuman kerabat dan cipika-cipiki yang menyebabkan polesan bedak menipis, dan mungkin pernikahan menjadi salah satu ritual sakral yang sangat dihormati.

Serentetan acara. Akhir-akhir ini, ketika bermain internet, mendengar berita, membaca majalah, atau sekedar berjalan-jalan, saya sering menemukan sesuatu hal yang berkaitan dengan pernikahan. Entah itu foto pre-wedding, foto-foto acara pernikahan orang, undangan pernikahan yang unik, souvenir yang berkesan, dan ini dan itu. Ini yang membuat saya tiba-tiba berpikir, bagaimana nanti pernikahanku? Dan, coba tebak, apa yang saya lakukan setelah itu? Yap, membayangkan serentetan acara dengan beberapa pernis.

Let’s begin.

Menikah pasti dengan orang yang dicintai. Dengan seseorang yang tulang rusuknya masih ada di dalam tubuh saya. Masalah nanti jodoh saya akan seperti apa, itu rahasia Tuhan. Dan saya tahu, semakin Tuhan menyimpan rahasia itu rapat-rapat, semakin kita akan sangat bahagia ketika mendapatkannya. Pada umur berapa saya menikah, saya tidak berani menjatuhkan pada angka berapa. Mungkin setelah saya bisa benar-benar menemukan jati diri saya, dan tentunya, jodoh saya. Hm, sepertinya dengan siapa, pada umur berapa, atau ketika musim apa, saya rasa hal itu tidak akan saya bahas disini. Saya ingin menuturkan bagaimana nanti pernikahan yang saya ingini.

Sebelum menjalani ‘proses’, mungkin akan menjalani photoshoots pre-wedding. Photoshoot pre-wed yang saya ingini tidak biasa. Saya tidak mau berfoto bersama pria yang akan menjadi suami saya dengan pose memegang dadanya, kemudian mata kami mengarah ke arah lain, bukan kamera. Bukan berdiri tegak, bergandengan tangan, melihat kamera. Yang saya inginkan adalah, kita berdua tertawa, memiliki chemistry yang luar biasa ketika orang lain melihat hasil fotonya. Saya ingin mereka tahu bahwa kami bahagia memiliki satu sama lain. Klasik, dinamis.

Kemudian siraman. Salah satu adat jawa yang dilakukan sehari sebelum hari pernikahan. Saya tidak mungkin meninggalkan hal ini. Selain menuruti ‘kata orang tua’, saya ingin melestarikannya. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Siraman cukup di datangi keluarga dan kerabat. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana lucunya bapak dan ibu saya berjualan dawet. Iya, ada acara jual dawet. Setiap orang diberi koin-koin tanah untuk membeli dawet. Saya tidak tahu secara terperinci mengapa ada acara jual dawet di malam terakhir sebagai perawan.

Seingat saya, malam setelah acara siraman, si wanita akan di dandani dengan dandanan yang sederhana, kemudian ‘temu’ dengan si pria. Tapi hanya sebentar. Saya tidak tahu alasannya. Mungkin, kalau saya menikah nanti, kita berdua selama semalam itu tidak boleh berkomunikasi. Boleh meng-SMS, mention twitter, update status facebook, ping BBM, atau telepon. Boleh. Tapi sayangnya, yang menerima tidak boleh menanggapinya/membalasnya. Agar kita berdua mendapatkan rindu yang bergejolak sebelum pada akhirnya kita menjadi milik satu sama lain.

Paginya, di hari yang akan kita ingat hingga kita tidak bisa mengingat apapun, Akad Nikah. Ketika bapak menjabat tangan pria itu, menikahkan saya, didampingi dengan penghulu dan saksi. Disaksikan oleh sahabat-sahabat dan keluarga tentunya. Ya, saya ingin sahabat saya menyaksikan. Menyaksikan salah satu mimpi saya terwujud.

Saya ingin Akad Nikah saya seperti di film Ayat-Ayat Cinta. Ketika Fahri mengucapkan ijab kabul, dan panghulu menanyakan ‘sah?’ kepada saksi, kemudian berdoa, amin, dan kelopak-kelopak mawar merah yang semalaman sudah direndam air mawar berjatuhan mewarnai ruangan itu. Mewarnai awal ‘kami’. Setelah itu menandatangani surat nikah, tukar cincin, mencium tangan suami, dan suami mencium keningku, dan… Ah saya tidak tahu urutannya.

Untuk resepsi, saya ingin garden party. Di rooftop atau taman. Tidak dengan busana pernikahan modern. Tapi dengan busana pernikahan yang dicoreti keningku. Yang hitam. Atau ala apa itu namanya? Yang nanti suamiku bertelanjang dada, dan saya sendiri mengenakan kemben. Entahlah.

Resepsi masih ada ‘injak telur’. Saya tak mau menghilangkan tradisi jawa. Saya ini kan orang Indonesia.

Saya tidak mau berfoto dengan berdiri, tersenyum, memegang tangan suami ketika berfoto dengan teman ‘kami’. Hal ini boleh dilakukan dengan keluarga. Untuk teman ‘kami’, satu foto seperti ini, beberapa foto lagi dengan tawa. Pasti menyenangkan. Mungkin saya juga akan mengerahkan beberapa photographer teman ‘kami’ untuk memotret ‘kita’.

Resepsi berjalan seperti umumnya. Makanan yang tersedia mungkin jajanan pasar dan kuliner Indonesia. Konsepnya bisa jadi Indonesia dengan sedikit nuansa ke-eropaan. Eropa mungkin terletak pada keklasikan penataan dekorasi. Lagu yang diputar adalah jazz (meski jazz bukan musik dari eropa), dan campur sari klasik yang sudah di re-aransemen oleh beberapa teman ‘kami’ yang ahli menjadi sedikit keeropaan. Atau mungkin band pengisinya adalah teman ‘kami’ sendiri yang mengaransemen itu semua. Menyenangkan!

Dan ketika acara resepsi berada pada puncak keramaian tamu, tiba-tiba suami berdiri di panggung. Mengambil mic, mematikan suara musik yang berdentang, meminta seluruh tamu melihatnya. Setelah terlaksana, ia mengatakan ini :
“saya tidak menyanyikan lagu kesukaan istri saya, atau beberapa lagu favorit ‘kami’. Tapi sebuah lagu yang sengaja saya tulis untuk hari ini. Untuk istri saya, agar tamu yang berada disini tak perlu ragu kalau saya benar-benar mencintainya. Dunia tak perlu tahu. Cukup kita. Enjoy ”
Suami memetikkan gitar, dan bernyanyi. Di beberapa liriknya berisi pendapat saya dan dia dulu ketika masih berpacaran, membicarakan tentang dunia, tentang beberapa kecintaan kita terhadap suatu hal atau bahkan kebencian kita. Lirik terakhir adalah kalimat ucapan malamnya kepadaku ketika masih berpacaran dulu. Kalimatnya sendiri.

Acara selesai. Bulan madu tidak perlu dunia. Cukup loteng dimana kami bisa melihat langit jernih di setiap malam. Dimana kami bisa menyambut pagi secepat yang kami bisa. Dimana kami bisa saling bersamaan mencintai langit. Rumah yang kami singgahi nanti bukan perumahan. Mungkin cukup perkampungan sederhana dengan atap-atap rendah, dan rumah kami paling menjulang. Kami menginginkan langit!

Jadi, bagaimana keinginan pernikahanmu?

2 comments: