Masih sore sebenarnya. Dan lelah tidak punya cukup daya yang banyak untuk menumbangkan tubuhku agar tertidur di atas lahan lelap. Mata terjaga saja. Untungnya, tidak menagih untuk mendapat penyelamatan berupa selamat malam, cepat tidur, atau mimpi indah jatuh di ujung mata atau telinga.
Suara tukang nyenyak kubiarkan
berlarian di ruang dengar. Bernyanyi sekenanya, menawarkan jasa pengantaran
untuk bertolak dari alam nyata. Siapa yang tidak tertarik untuk menerimanya
dengan kondisi seperti ini? Aku mengiyakan.
Ketika nyawaku sudah nyaris tidak
ada di lahan lelap, suara gending Bali ikut berlari, dan nama yang sama seperti
yang sering bercokol di daftar kotak masuk pesan berkedip di layar ponsel.
Tidak girang. Tidak juga menolak untuk menjawab, karena putri tidur tak pernah
menolak Pangeran menciumnya agar terbangun.
“Halo?” responku seketika,
mencoba tidak terlihat seperti terbangun dari tidur. Tidak ada putri tidur yang
menolak berdialog dengan Pangerannya setelah dibangunkan.
“Sedang apa?” tanyanya.
“Sedang akan tidur. Nyaris saja
sampai.”
“Mengganggu ya? Maaf. Kunyanyikan
nina bobo ya. Sebentar,” suaranya sedikit menjauh. Setelah diam sejenak, terdengar
suara badan gitar yang beradu dengan lantai. Sedetik kemudian, petikan gitar terdengar
lembut.
Tanpa permintaan pemberitahuan, refrain
terdengar dari dua sumber suara bersamaan. Berlarian di ujung-ujung tempat ini,
dan di ujung telinga. Putri tidur tak bisa tidur karena menunggu lagu selesai.
Dan Pangeran tidak pernah benci dengan lagu yang ia mainkan.