Wednesday 29 June 2011

Erngo

Dengan langkah mirip Charly Caplin, ia mendekati Rara dengan senyum dan tautan alisnya. Rara meloncat kecil, emosinya membuat sudut bibirnya tertarik ke samping. Reo sumringah menangkap itu dengan kameranya. Reo tidak perduli dengan bola mata pemain pantomim itu yang melirik keduanya dengan tatapan yang bermakna.

Setelah berada tepat di depan Rara, ia memiringkan kepalanya, mengerutkan dahinya, menyipitkan matanya, dan sedikit memajukan bibirnya, bertanya kepada Rara apa yang membuatnya melengos.

Rara menggeleng, tersenyum. Pemain pantomim itu senang. Ia mengulurkan tangannya ke belakang telinga Rara, kemudian kembali dengan segulung kertas. Rara kaget, ia meraba telinganya. Ia tidak menyimpan apapun disana. Pemain pantomim itu membuka gulungan di depan muka Rara dengan jemarinya yang tipis.

Erngo. Reo menangkap nama itu. Pemain pantomim menjulurkan tangannya, mengajak berkenalan.

Rara membalas uluran tangan itu, “Rara”.

Erngo menjentikkan jarinya. Menemukan ide baru. Tangan kanannya berlari ke punggung Reo. Sekuntum mawar dari sana. Erngo memberikan mawar itu kepada Rara. Rara tersenyum, memperhatikan sudut mata Erngo yang menyiratkan bunga itu dari lelaki di sampingnya. Rara melirik ke arah Reo.

“Tidak.” Reo menggeleng.

Erngo meletakkan telunjuknya di depan bibirnya, menyuruh keduanya diam. Erngo melirik Reo. Telapaknya di dekatkan ke telinganya, mendekatkan telinganya ke dada Reo, sedikit membukuk. Kedua tangan Erngo membetuk hati, menggambarkan dada Reo yang berdegub.

Rara meringis. Wajah Erngo menggemaskan. Tersenyum nakal dengan mata yang meyakinkan kalau tangannya tidak salah. Alisnya terangkat sebelah setiap kali tangannya berdetak. Semakin lama semakin cepat.

Tangan Erngo berpindah ke dada Rara. Tidak sedekat Reo memang. Tapi tangannya berdetak lebih cepat. Rara heran. Erngo benar. Tak lama, ia kembali berdiri tegak. Menggeleng, seakan tahu dengan apa yang keduanya belum lakukan. Erngo bergantian menatap Rara dan Reo, mengajak mereka menatapnya. Erngo membentuk hati sebesar yang ia bisa. Mata Rara dan Reo mengikutinya.

Plok. Erngo menepuk tangannya. Rara berkedip. Reo meletakkan kameranya di tangan kanannya. Berhenti memotret. Reo mengerti.

Erngo menyikut perut Reo, mengangkat kedua alisnya secara bersamaan, meringis, menampilakan sederet giginya yang tak kalah putih dengan cat di wajahnya, kemudian pergi, tetap dengan langkah Charly Caplinnya.

“Mana mungkin jantung kita berdetak secepat itu?” tanya Rara setelah tidak menemukan punggung Erngo.

“Iya, Erngo salah. Tadi jantungku lebih cepat berdegup dari jantung yang digambarkan Erngo milikmu tadi”.

“Apa?” Rara tak mendengar ucapan Reo.

“Sini”, Reo meraih tangan Rara, menempelkan ke dadanya.

Dug. Dug. Dug. Rara seperti meraba degupan jantung seorang pelari marathon setelah berlari jauh. Cepat, pasti. Tapi yang ini lebih tak terkendali.

“Aku tak bisa menahannya untuk berdegup lebih pelan,” bisik Reo.

Rara tak berkedip. Napasnya berhenti. Jantungnya memompa. Tidak, jantungnya tidak lebih stabil daripada milik Reo.

Reo menagkap keramaian lagi. Kali ini di stage tak jauh dari tempat mereka. Reo menggenggam tangan Rara yang masih tertempel di dadanya menikmati degup jantungnya yang semakin memburu, menariknya, mengajak ke keramaian itu.

“Mocca, Ra,” ucapnya datar.

Rara membiarkan tubuhnya terbawa oleh arus manusia yang memusat ke sebuah sudut.

Aku juga, baatin Rara. Reo mendengarnya?

Tuesday 28 June 2011

6 Indra

Cium.
Teh setiap pagi. Jasmine, Vanilla, Lemon.
Kertas-kertas yang baru bebas dari percetakan.
Tinta yang tergores. Apapun.
Jaket aroma Green Tea.
Tanah. Terhujani air langit.
Keringat tak terbasuh seharian.
Mentega. Telor ceplok full matang
Lihat.
Depan : merah, biru, kuning, hitam, putih, campuran.
Tulisan dengan dasar putih, memicingkan.
Tegas, coret, berhenti.
Kesempatan, waspada.
Menunduk. Membaca. Diam.
Batasan. Langit.
Lorong sebelah. Malu
Cecap.
Teh. Kadar gula yang tak berlebih.
Kuliner negara seberang.
Permen. Kantuk.
Nasi. Berbagi.
Umpatan.
Saccharum Lactis.
Tamarindus Indica.
Raba.
Menelusuri bantuan dibalik meja.
Ujung bolpoin.
Kantong. Adakah yang mengganjal?
Menunjuk, agar tulisan tak lari.
Hablur, putih, tidak berwarna.
Colek, kepala.
Ramalan garis.
Dengar.
Teriakan bersama-sama.
Bisikan, pertolongan.
Telepon tengah malam untuk esok.
Desisan lembar demi lembar.
Lagu. Radio.
Cerita.
Isakan, tawa.
Rasa.
Ransel. Kertas-kertas terjilid.
Serius dan canda.

*
Tuhan, akankah mereka hadir lagi? Semoga.

Friday 24 June 2011

Sister

Nadya Nova Evananda.
Call her Nanda, Nadya, or YONI. :p

Ibunya dan ibuku sepupuan. Saya bingung bagaimana saya menyebutnya. Saudara satu nenek buyut? Terdengar asing. Tapi begitulah kita.

Saya tidak pernah jatuh cinta padanya. Tapi sayangnya, kita mencintai hal yang sama : menulis. Well, kita berdua masih belajar. Umur saya 18, dan umurnya sekitar 15 tahunan. Tapi kita merasa memilki kesamaan. Selain warna kulit kita lho -__- Saya heran. Apa nenek buyut kita mengidam sesuatu sehingga 2 cicit pertamanya memiliki kecantikan luar biasa dan beberapa kesamaan? Entahlah.

Her Blog.




Sunday 19 June 2011

Cemburu

Dengan berbagai nafas, kau mendesah dengan caramu. Aku tahu.
Aku tahu dengan berbagai cara bahwa kau membenciku. Ah, tidak. Kau tak pernah membenciku. Aku tahu itu. Kau menjaga perasaanku. Hanya saja kau membenci segala cara agar aku bisa dekat denganmu.
Aku mengenalmu lama. Sejak hujan belum memberikan gemelitiknya di punuk bukit. Sejak mereka belum mengenalmu sebagai manusia datar. Dan aku sudah mulai mengenalmu ketika kau memberikan tanda-tanda akan ada kecemburuanku padamu. Tidak, aku tahu itu akan terjadi. Tapi rasanya ada keyakinan yang membuat ketakutanku pada kecemburuan itu perlahan akan menghilang partikel demi partikel. Aku menuruti kemauan dari keyakinanku sendiri. Bukankah bangga memiliki manusia yang sepertimu?
Aku tahu bagaimana kau. Aku tahu bagaimana caramu berbicara kepadaku, dan aku selalu menirukannya, kemudian tertawa. Aku tahu bagaimana kau tetap kukuh memegang tombak pendapatmu. Aku tahu bagaimana kau menceritakan kecintaanmu, tetapi tak pernah ada aku di dalamnya. Aku tahu bagaimana kau memutuskan asamu yang sedang berada di bawah, dan kau memaksaku untuk menghiburmu, kemudian tak ada lagi kalimat-kalimat selanjutnya. Pedih memang setelah tahu bahwa aku bukan satu-satunya yang tahu bagaimana gestur bajumu bergerak. Tapi aku yakin, aku dan kau masih dalam bendungan 'kita'.
Aku tahu, kelima indramu masih berfungsi dengan benar. Tapi aku yang selalu menjadi indra keduamu. Kau ingat itu? Kau ingat bagaimana kau memaksaku mencicipi rasa sayuran yang sama sekali tidak aku sukai? Atau ketika kau mengusulkanku untuk melihat bulan malam ini. Bahkan ketika kau menemukan benda yang menarik perhatianmu, kau selalu memberiku kesempatan untuk menyentuhnya, merasakan sensasi yang sama seperti apa yang kau rasakan. Ya, kau selalu menanyakan apakah bau parfummu hari ini berlebihan atau tidak. Dan yang paling menyenangkan adalah ketika kau berbicara, dan aku mendengarmu bagaimanapun kau menghentikan kalimat-kalimatku. Aku terlanjur menikmatinya. Setidaknya, itu membuat aku bisa dekat denganmu. Membuat sebuah waktu milik kita.
Detik masih bergerak enam derajad selama enam puluh kali, membentuk satuan bernama menit. Terus seperti itu. Kau memperlakukan aku dengan cara yang sama. Dan aku tetap berdiri dari segala keyakinan yang sudah menyerah. Dan aku masih mencari alasan dan merayu untuk membuat keyakinan itu tetap hidup. Berdiri kokoh disini. Tetap seperti ini saja.
Tapi sayang, angin meniup setiap bagian jiwanya. Dia menemukan sesuatu! Dan apa? Aku tak lagi menjadi indra keduanya. Tak lagi berpedapat bagaimana rasanya daun mahoni yang gugur di depan matanya. Dia pernah berkata, dia menemukan hidupnya!
Ya, aku tahu. Kau sering menyangkal ajakanku ketika aku tidak membawa botol kenangan. Dan segala cercaan kebosananmu terhadap emosi yang tersenggol. Apa pedulinya? Kau sering memperlakukanku seperti itu, kan?
Dan.. sekarang apa lagi? Manusia-manusia baru itu menyanyi bahwa mereka mengerti bagaimana kau menghitungi helai-helai rambutmu?
Sayang, aku cemburu.

Surabaya, 19 Juni 2011

Wednesday 15 June 2011

Go A Head edisi Manusia Blur

Tau iklan rokok yang Go A Head yang manusia blur nggak? Pasti pertama kali lihat, mungkin kalian pikir “Ini iklan apaan sih” atau cuma bilang “hah?” dan yang pada intinya kalian nggak ngeh sama iklannya. Sama. Aku juga. Tapi, setelah iklan ini sering diputer dan dengan ending si manusia blur itu nggak blur lagi, aku jadi penasaran. Sepertinya memang ada artinya. Jadi, aku disni nyoba mengartikan iklan itu menurut pemikiranku. Enjoy..

--

Manusia kribo blur. Di iklan itu, rasanya hidupnya gitu-gitu aja. Blur. Nggak ada artinya, nggak jelas, dan mungkin nggak dianggep.

Di bus, dia sendirian. Oke, sebagai awal iklan, mungkin ini sebagai pertanyaan. Kenapa manusia ini blur? Cuma sampai disitu. Aku yakin nggak ada pertanyaan ‘kenapa dia naik bus sendirian?’. Ya karena naik bus nggak perlu rame-rame, kan? Tapi disitu dia ngelihatin tangannya yang blur. Mungkin ini menunjukkan kalo iklan ini pengen ngelihatin si manusia blur. Dan sedikit pertanyaan ‘kenapa dia blur?’

Scene berikutnya. Pas dia papasan sama cewe yang matanya lihat ke depan, dan dia harus mepet ke mobil. Disini juga masih nunjukin kalo dia nggak dianggep. Biasanya, kalo ada dua orang yang berjalan berlawanan arah, dan mata dari keduanya lurus, salah satu atau bahkan keduanya beralih ke arah lain. Logikanya, si cewek nggak mungkin minggir ke mobil. Arah jalannya pasti jadi menjauh dari mobil, kan? Ini berarti, si cewek nggak perduli dengan apapun yang terjadi dengan manusia blur itu.

Benerin taplak meja. Sepele. Mungkin dari sini bisa dilihat kalo pas udah nggak ada kerjaan yang dikerjain. Dan seharusnya dia sama temen-temennya ngobrol-ngobrol ––meski nggak jelas apa yang diomongin. Bukan benerin taplak atau benerin letak meja atau semacamnya yang nggak jelas kaya gitu dan terasa kurang kerjaan.

Mbersihin mobil atau benerin ya yang dia jongkok megang-megang pintu mobilnya? Entahlah. Yang penting disini aku nangkepnya dia masih ‘sendirian’. Bayangin aja. Itu mobil kuno, dan dia masih muda. Seharusnya seru banget kalo bahas otomotif dan ngotak-ngatik benda kuno itu bareng teman-tamannya. Dan kayaknya itu seru banget. Kalo dia nggak punya duit buat ngutak-ngatik benda itu, seenggaknya ada temennya yang excited banget sama benda kuno, dan selalu suka membahasnya.

Di sebuah ruang, di sofa panjang, dia duduk sendirian. Disini aku juga nangkep ‘sendiri’-nya manusia blur ini. Ada dua pertanyaan : dia ngekost atau ngontrak sama temen-temennya, atau dia lagi dirumah sendiri. Kalo malem itu malem minggu, rasanya gimana gitu ya nggak ada temen yang ngajak dia keluar, nggak ada keluarga yang ngajak ngobrol seru. Dan pada intinya, malam itu dia duduk sendiri. Nggak ada temen.

Di kamar mandi. Sendirian(yang ini nggak mungkin rame-rame), dan menggosok tangan kirinya. Mungkin dalam pikirannya dipertanyakan “Kok aku blur, sih?” dan dalam bahasa lugasnya, pertanyaannya seperti ini “Aku hidup jelas gak, sih? Aku hidup terus kenapa?” dan sekitar itu. Nggak dianggep. Dan dia nggak nanggep hidupnya itu seperti apa. Oke, beberapa kalimat mungkin sedikit labil kayak ababil, tapi, di sisi lainnya, dia ngerasa hidupnya gitu-gitu aja. Blur. Ngeh? Oke, lanjut.

Ikan hiu. Bahkan ikan hiu pun nggak memeberi ‘sesuatu’ buat dia. Padahal ikan hiu itu tidak suka keramaian. Aneh, kan? (yang ini sotoy) singkatnya gini : Kenapa dia ke sea world sendirian? Nggak asyik banget kan nggak rame-rame? Dan ikan, ya ikan, IKAN, nggak bisa nganggepp dia. Dia Cuma bayangan hitam mirip korek. Tak berbau darah.

Scene pas di sebuah ruangan, kayak ada forum gitu. Perhatiin deh yang berdiri. Yang mimpin diskusi itu. Gimana ngadepnya? Membelakangi manusia blur. Disitu, posisinya manusia blur ngerasa nggak dianggep kalo ada di situ. Dia merhatiin, dan yang lainnya juga merhatiin. Yang mimpin diskusi itu juga menggerakkan tubuhnya. Ini berarti, manusia blur itu sebenernya keliatan, tapi nggak dianggep.

Pas dilihatin sama orang aneh (aku nggak tau ini cewek apa cowok) yang kumisan dan pake dress, dan pandangannya itu bilang yang intinya manusia blur ini ‘apa banget’, nggak normal. Istilah singkatnya ‘eh, orang ini’. Dan sampe mau masuk pun, manusia aneh itu masih ngelihatin si manusia blur. Berasa dia nggak aneh aja, ckck.

Di bar(scene yang ini nggak ada di iklan yang baru), kenapa dia sendirian? Entahlah. Logikanya, nggak mungkin banget main di bar kayak begituan sendirian. Kan nggak seru asyik-asyikan gitu sendiri nggak ada temen. Jadi, intinya bisa aja dia nggak bisa dapet temen buat diajak ke tempat begituan. Bukan karena dari sudut pandang ‘negatif’ dari tempat ini lho ya. Dilihat aja gimana dia pengen ngajak beberapa temennya buat seru-seruan. Oke, memang sendirian bisa ke tempat seperti itu. Disana mungkin ada beberapa orang nggak kenal yang ngajak turun buat nikmatin lagu dan bergoyang. Tapi nyatanya? Nggak ada. Dan gimana minumannya? Apakah selalu penuh karena tawaran bartender untuk mengisinya lagi? Kalo yang ini aku nggak tau. Haha :p

Tidur di kamar. Dia mikir. “Segitukah gue? Nggak dianggep, dianggep aneh. Gue gini-gini aja. Hidup gue blur. Nggak jelas” berkedip, dan sepertinya memutuskan ke sebuah tempat.

Pameran lukisan. Dia masuk, dan bertemu dengan cewek aneh nari-nari niup trompet pake kacamata 3D. ngelihatin dia dengan penuh tanya, kemudian memberhentikan permainan trompetnya, melepas kacamatanya, menjulurkan tangannya, dan tersenyum. Kenalan. Mana mungkin si manusia blur menolak seseorang untuk pengen ‘mengenalnya’? Sekalipun itu cewek aneh.

Scene-scene berikutnya sudah membuat kita tersenyum. Pas di cafĂ©, si cewek aneh menceritakan beberapa hal yang seru. Hingga pada akhirnya kita ditunjukkan bahwa dalam ‘dimensi’ si cewek (dimensi bukan 3D, karena dia make kacamata 3D), dalam kacamatanya, si cowok ini ‘terlihat’. Semakin bingung? Oke, lanjut aja.

Lompat-lompat di matras. Ketawa gulung-gulung seru main bowling. Lihat bintang. Ngebikin hidup si manusia blur ini lebih berwarna. Lebih ada sesuatu dari biasanya. Siapa yang nggak seneng? Siapa yang nggak seneng kalau ada seseorang yang membuat hidup kita lebih greget dari biasanya?

Dan pada akhirnya, manusia itu bangun tidur di atas kap mobil, dia sudah melihat dirinya tidak blur lagi. Ini pasti karena cewek aneh kacamata 3D. Seharusnya dia berterimakasih dengan cewek itu. Tapi apa? Cewek itu cuma ninggalin kacamatanya. Dia (cewek kacamata 3D) ngelihat ‘dimensi’ kita ini dengan kacamata 3Dnya. Dan kita tahu bahwa dengan kacamata 3D, sebuah film akan lebih seru (lupakan 4D dan 5D. kita bicara yang sederhana). Mungkin dipikirannya, ‘dimensi’ kita belum seru, dan dia memakai kacamata 3D agar terlihat seru, dan ketika kita diberi kesempatan untuk melihat si manusia blur dengan kacamatanya, manusia itu terlihat.

Dan dari back soundnya, dari awal cuma instrumen yang mengalun rendah, kemudian mati, dan hanya seperti itu. Tapi setelah bertemu dengan cewek itu? Back sound jadi full. Merendah, tapi tidak hilang. Seperti menegaskan bahwa hidup manusia ini tidak lagi sunyi seperti sebelumnya

Jadi, teman2 yang ngerasa hidupnya ‘nggak berarti’, nggak usah bilang ‘aku hidup buat apa sih?’ atau ‘apa sih artinya hidupku?’. Hello, itu sudah nggak usum. Mungkin ada beberapa manusia di luar sana yang memandangmu dengan ‘kacamata’ sendiri dan sanggup melihatmu meski tanpa kacamata. Dan suatu hari kelak, percayalah dia yang akan membuat hidupmu lebih berwarna, lebih berarti, meski dia jelek sekalipun, aneh, atau beberapa predikat yang tidak manusiawi lainnya. Tapi predikat itu untuk apa? Yang terpenting adalah dia sudah membuat hidupmu tidak ‘blur’ lagi. Dia sudah membuat warna lain. Dan ingat, jika kau sudah menemukannya, jangan sia-sia kan dia, atau lengah, untuk membuatnya pergi, dan meninggalkan penyesalan. Yang belum menemukan, tetap sabar, masih ada manusia yang memandangmu dengan kacamata lainnya yang sudah ada sebelum kau ada dan memang hanya untukmu : keluarga. Jangan sia-siakan keberadaan mereka J

Rahmadana Junita, 15 Juni 2011

Quotes of Today

Mereka memanggil mimpinya dengan berbagai cara. Begitu juga dengan cara mendapatkannya. Meski mimpi mereka tidak 'wah', setidaknya mereka punya mimpi untuk dikejar.
Tolong, jangan dirusak dengan memberikan berbagai komentar.

Rahmadana Junita

Tuesday 14 June 2011

Sunday 5 June 2011

Scholastica.

Dan tanpa kusadari, dirimu kan hadir disini..
Bawakan cinta yang semula tiada..
Dan tanpa kusadari, dirimu kan hadir disisi..
Bawakan cinta yang sempurna..

Penggalan lagu. Fucking sweet. Dari mana sosweetnya?
Ini dari album pertamanya Barry Likumahuwa, judulnya Good Spell. Track 4. Di thanks to nya dia, dia ngomong : "Mi Angelita, my world, my everything: Anastasia Scholastica Andhini Puteri Lestari beserta keluarga di Tomang Ancak No 4, "..we finally made it yung, makasih yah udh ngedukung dan ngasih kritik2 pedasmu, hehehe.. this album is about GOD & You!! I luv u so much yung.."". Featuring bokapnya, om Benny Likumahuwa. Yang nyanyi dia sendiri. Yak, Barry Likumahuwa.

Sudah tahu dimana sosweetnya, kan?

Pengen dengerin? Males beli albumnya? Sini aku kasih convert-annya. Kalaau masih males kesini, coba deh tanya sama mbah google 'Download Scholastica Barry Likumahuwa Free' atau minta contekan sama 4shared. Yakin deh, mereka ada.

Friday 3 June 2011

Yvaine

You know when I said I knew little about love? That wasn’t true. I know a lot about love. I’ve seen it, seen centuries and centuries of it, and it was the only thing that made watching your world bearable. All those wars. Pain, lies, hate… Made me want to turn away and never look down again. But to see the way that mankind loves… I mean, you could search to the furthest reaches of the universe and never find anything more beautiful. So, yes, I know that love is unconditional. But I also know it can be unpredictable, unexpected, uncontrollable, unbearable and strangely easy to mistake for loathing, and… What I’m trying to say, Tristan, is… I think I love you. My heart… It feels like my chest can barely contain it. Like it doesn’t belong to me any more. It belongs to you. And if you wanted it, I’d wish for nothing in exchange — no gifts, no goods, no demonstrations of devotion. Nothing but knowing you loved me, too. Just your heart, in exchange for mine.
Neil Gaiman's Sturdust

I've read his book, watched the movie. And I'm sooo.. in love with every-single-word, every single scene. It's not book (also movie) best ever. But I'm addicted. Sorry, Harry Potter, Edmund Pevensie, Percy Jackson. You must try it. Want to buy it, read, buy the DVD (my last DVD was broken. The file err), copy it for him. haha big no.